“Kemarin udah kejadian pasien tumor abdomen post kemo dipulangkan krn
plafonnya kelebihan 1jt. Trus ditemukan meninggal besoknya pas antre lg
di poli onkologi nunggu di MRS-kan..”
–Sedih banget.
Diskusi sama teman2 ttg BPJS, “Yang sperti ini bakal diliput media nggak?”
“Tentu, dan headline-nya adalah: ‘RS menelantarkan pasien’ lagi.. Semoga yg bikin kebijakan itu sehat terus ya, nggak ngerasain sperti apa BPJS..”
–Sedih banget.
Diskusi sama teman2 ttg BPJS, “Yang sperti ini bakal diliput media nggak?”
“Tentu, dan headline-nya adalah: ‘RS menelantarkan pasien’ lagi.. Semoga yg bikin kebijakan itu sehat terus ya, nggak ngerasain sperti apa BPJS..”
Kepada para Sejawat dan Teman Seperjuangan, ijin share curhat & aspirasinya.
Mengutip harapan senior2 saya, “Semoga di masa mendatang kebijakan kesehatan di Indonesia ini lebih rasional & manusiawi, untuk pasiennya maupun untuk dokternya.”
Mengutip harapan senior2 saya, “Semoga di masa mendatang kebijakan kesehatan di Indonesia ini lebih rasional & manusiawi, untuk pasiennya maupun untuk dokternya.”
*
Mengutip tulisan TS SpOG yg bertugas di RSUD dr Soetomo (PPK III) : MAAF, INI BUKAN SALAH KITA…..
Akhirnya, yang saya takutkan terjadi juga. Saya ‘harus’ bertemu
dengan pasien BPJS, yang ternyata adalah istri dari seorang teman
sejawat dokter umum.
Pasien primigravida, datang jam setengah empat sore ke UGD dengan
keluhan ketuban pecah dan letak lintang. Pasien tidak pernah ANC di
saya. Setelah dihitung, usia kehamilannya masih sekitar 35 minggu. ANC
terakhir adalah sebulan yang lalu di SpOG yang lain. Dari anamnesis,
ternyata si pasien punya riwayat gula darah tinggi. Itu saja yang bisa
saya gali (sungguh hal tidak menyenangkan bagi seorang SpOG bila
‘kedatangan” pasien yang tidak pernah ANC kepadanya ok harus meraba2
masalah pada pasien).
Dan episode berikutnya, adalah episode2 yang harus membuat saya
menangis tak terperikan dalam hati. Pasien saya rencanakan SC cito.
Pertanyaan yang pedih ketika dokter jaga menghubungi saya,”dokter mau
mengerjakan pasien BPJS?”. Pedih, karena semua sejawat SpOG pasti tahu
nominal biaya paket SC. Sekitar 3-4 juta. Itu total Jenderal, sudah
termasuk sewa OK, obat bius, benang benang jahit, perawatan di ruangan,
infus dan obat di ruangan. Lalu berapa honor yang harus diterima seorang
SpOG? Tergantung. Yah, tergantung sisa hal2 di atas. Bisa saja cuma 60
ribu seperti yang pernah dialami sejawat saya.
Tapi, bukan itu yang membuat saya pedih. Toh, selama ini, kami para
dokter sudah biasa mendiskon pasien, menggratiskan pasien dll. Yang
membuat pedih adalah pertanyaan itu. Ini soal hati nurani. Apa mungkin
saya menjawab tidak???
Pedih berikutnya, adalah ketika saya harus menunggu satu jam lebih untuk mendapatkan kepastian jadi tidaknya pasien ini operasi. Katanya, masih menunggu proses administrasi BPJS yang katanya online nya sedang lemot. Dan benar2 hati saya harus deg2an bercampur pedih itu tadi. Mau menunggu sampai kapan.Sampai jadi kasus kasep? Sementara urusan administrasi bukan wewenang kami para dokter.
Pedih berikutnya, adalah ketika saya harus menunggu satu jam lebih untuk mendapatkan kepastian jadi tidaknya pasien ini operasi. Katanya, masih menunggu proses administrasi BPJS yang katanya online nya sedang lemot. Dan benar2 hati saya harus deg2an bercampur pedih itu tadi. Mau menunggu sampai kapan.Sampai jadi kasus kasep? Sementara urusan administrasi bukan wewenang kami para dokter.
Setelah dengan sedikit pemaksaan, pasien akhirnya bisa sampai di
kamar operasi. Lagi2 saya harus pedih. Berdua dengan sejawat anestesi,
kami harus berhemat luar biasa. Saya sibuk berhemat benang, dan dia
sibuk memilihkan obat bius yang murah meriah. Aduhai, operasi yang sama
sekali tidak indah buat saya….
Selesaikah pedih saya? Ternyata belum. Pasca operasi, saya dihubungi
apotek. “Dok maaf, obat nyeri nya tidak ditanggung, obat untuk mobilitas
usus juga tidak ditanggung,” hiks….Apakah kami para dokter ini jadi
dipaksa bekerja di bawah standar oleh pemerintah? Dan, saya pun ikut
merasakan betapa pasien masih merasakan kesakitan pasca SC. Sungguh,
maaf, ini bukan salah kita, pasien ku sayang….
Bahkan, obat nyeri yang oral pun terpaksa bukan yang biasa kami
berikan. Pedih dan perih hati kami. Seperti inikah pengobatan gratis
yang dijanjikan oleh Pemerintah? (Tapi sebenarnya tidak gratis bagi PNS,
karyawan, buruh dan orang mampu yang nanti dipaksa ikut BPJS). Kami
harus bekerja dengan pengobatan ala kadarnya yang membuat kesedihan luar
biasa bagi kami. Kami merindukan pasien2 tersenyum bahagia.
Dan…kepedihan yang paling2 pedih adalah harus menghadapi kenyataan bahwa malam ini, pasien BPJS saya adalah istri seorang sejawat dokter umum yang tercatat sebagai PNS di sebuah Puskesmas. Bayangkan, seorang ujung tombak lini depan pelayan kesehatan yang notabene pekerja Pemerintah, harus mendapatkan pelayanan BPJS seperti ini.
Dan…kepedihan yang paling2 pedih adalah harus menghadapi kenyataan bahwa malam ini, pasien BPJS saya adalah istri seorang sejawat dokter umum yang tercatat sebagai PNS di sebuah Puskesmas. Bayangkan, seorang ujung tombak lini depan pelayan kesehatan yang notabene pekerja Pemerintah, harus mendapatkan pelayanan BPJS seperti ini.
Dan…menangislah saya, karena kalau BPJS tetap berjalan seperti ini,
bukannya tidak mungkin, saya dan kita semua akan mengalami hal yang sama
dengan istri sejawat saya ini. Karena kelak, BPJS ini wajib untuk semua
rakyat dan semua RS. Karena pemerintah pun menjadi tukang paksa bagi
seluruh isi negerinya..,,Rakyat dipaksa ikut BPJS, karyawan swasta harus
ikut BPJS, seluruh RS wajib melayani BPJS dan dokter pun harus melayani
sesuai standar BPJS yang ala kadarnya…
Maaf, tapi ini bukan salah kita….
No comments:
Post a Comment