BPJS Watch menilai, masih banyak kekurangan
pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, masih banyak permasalahan dalam perjalan BPJS Kesehatan selama 50 hari.
Menurutnya, keuntungan yang diterima peserta dan permasalahan layanan, menjadi keluhan yang dominan dari peserta kepada BPJS Kesehatan. Walaupun sudah dikeluarkan surat edaran Nomor 31 dan 32 tahun 2014 oleh Menteri Kesehatan (Menkes) guna memperkuat Permenkes Nomor 69, ternyata belum dapat mengurangi permasalahan di lapangan.
Dari sisi regulasi, pemerintah seharusnya dapat menanggung gelandangan, anak jalanan, anak panti asuhan, orang jompo dan penghuni lapas. Rencananya, pemerintah menambah anggaran sebesar Rp400 miliar.
"Ini terhalang karena Perpres 111 Tahun 2013 tentang jaminan kesehatan hanya mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin sebagai PBI. Padahal menurut BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2011, orang miskin ada 96,7 juta," kata Timboel dari rilis yang diterima KORAN SINDO, Jumat 21 Februari 2014.
Untuk itu, BPJS Watch mendesak pemerintah merevisi Permenkes Nomor 69 Tahun 2013 dan SE Nomor 31 dan 32 Tahun 2014, dengan menaikan biaya INA CBGs dan kapitasi. Dengan berbincang kepada faskes, dan pemerintah cepat menganggarkan Rp400 miliar untuk 1,7 juta orang. Sehingga BPJS Kesehatan bisa mengatasi 96,7 juta.
Masalah lainnya terletak pada pelaksanaan di lapangan. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh PPK I (Puskesmas dan klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit). Masih ditemukan pasien yang harus mencari kamar karena banyak RS yang bilang penuh.
Selain itu, banyak pasien yang sudah sekarat harus mencari ruang ICU/ICCU. Seperti kasus seperti yang dialami Pak Nur dipaksa oleh sebuah RS di Jambi untuk mencari darah sendiri sebelum besoknya dioperasi.
"BPJS Kesehatan seharusnya lebih sensitif dan peduli untuk masalah-masalah teknis. Harusnya ada desk khusus BPJS Kesehatan di tiap RS yang memiliki data atau informasi ter-update terkait masalah ketersediaan ruang rawat atau ruang ICU/ICCU di RS lain," ungkapnya.
"Desk khusus tersebut online dengan desk khusus BPJS di RS-RS lain sehingga BPJS kesehatan akan menginformasikan lebih pasti mana RS yang memiliki ruang rawat atau ICU/ICCU kosong," imbuhnya.
Nantinya, desk khusus ini beroperasi 24 jam dan terus memantau ketersediaan ruangh perawatan atau ICU/ICCU dimasing masing RS. Selain itu, permasalahan darah BPJS Kesehatan harus mempunyai kerja sama khusus dengan PMI atau RS lain yang mempunyai stok darah, sehingga ketika pasien membutuhkan hal tersebut dapat terpenuhi.
Sementara itu, Menurut Ketua DJSN Chazali Situmorang mengatakan, hingga kini masih banyak puskesmas atau rumah sakit yang masih menggunakan sistem manual dalam pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Hal ini mengakibatkan risiko klaim ganda dan double kepesertaan pun tak bisa dihindarkan, ditakutkan akan membuat BPJS Kesehatan bangkrut.
Menurut dia, risiko klaim ganda dan double data peserta hanya dapat dikontrol dengan sistem online di seluruh lapisan BPJS Kesehatan, baik di pelayanan kesehatan tingkat primer hingga tersier.
Sehingga data peserta bisa dapat segera diakses jika yang bersangkutan sedang berobat. "Hal itu kemudian dapat mencegah adanya double kepesertaan. Namun diakuinya, hingga kini sistem online dalam BPJS kesehatan masih sangat minim," kata dia.
Dari sekira 9.600 Puskesmas yang tersebar di Indonesia misalnya, baru puskesmas di DKI Jakarta yang dikatakannya telah menggunakan sistem online yang baik. Risiko lainnya ialah, penyalahgunaan kartu anggota oleh orang lain.
Risiko ini, sangat banyak terjadi dalam jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) yang diterapkan sebelumnya. "Banyak terjadi pinjam meminjam dalam penggunaan kartu sehat tersebut. Cukup dengan usia yang sepantaran, gender sama. Tidak jarang rumah sakit yang juga tutup mata,” ujar Chazali.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, masih banyak permasalahan dalam perjalan BPJS Kesehatan selama 50 hari.
Menurutnya, keuntungan yang diterima peserta dan permasalahan layanan, menjadi keluhan yang dominan dari peserta kepada BPJS Kesehatan. Walaupun sudah dikeluarkan surat edaran Nomor 31 dan 32 tahun 2014 oleh Menteri Kesehatan (Menkes) guna memperkuat Permenkes Nomor 69, ternyata belum dapat mengurangi permasalahan di lapangan.
Dari sisi regulasi, pemerintah seharusnya dapat menanggung gelandangan, anak jalanan, anak panti asuhan, orang jompo dan penghuni lapas. Rencananya, pemerintah menambah anggaran sebesar Rp400 miliar.
"Ini terhalang karena Perpres 111 Tahun 2013 tentang jaminan kesehatan hanya mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin sebagai PBI. Padahal menurut BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2011, orang miskin ada 96,7 juta," kata Timboel dari rilis yang diterima KORAN SINDO, Jumat 21 Februari 2014.
Untuk itu, BPJS Watch mendesak pemerintah merevisi Permenkes Nomor 69 Tahun 2013 dan SE Nomor 31 dan 32 Tahun 2014, dengan menaikan biaya INA CBGs dan kapitasi. Dengan berbincang kepada faskes, dan pemerintah cepat menganggarkan Rp400 miliar untuk 1,7 juta orang. Sehingga BPJS Kesehatan bisa mengatasi 96,7 juta.
Masalah lainnya terletak pada pelaksanaan di lapangan. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh PPK I (Puskesmas dan klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit). Masih ditemukan pasien yang harus mencari kamar karena banyak RS yang bilang penuh.
Selain itu, banyak pasien yang sudah sekarat harus mencari ruang ICU/ICCU. Seperti kasus seperti yang dialami Pak Nur dipaksa oleh sebuah RS di Jambi untuk mencari darah sendiri sebelum besoknya dioperasi.
"BPJS Kesehatan seharusnya lebih sensitif dan peduli untuk masalah-masalah teknis. Harusnya ada desk khusus BPJS Kesehatan di tiap RS yang memiliki data atau informasi ter-update terkait masalah ketersediaan ruang rawat atau ruang ICU/ICCU di RS lain," ungkapnya.
"Desk khusus tersebut online dengan desk khusus BPJS di RS-RS lain sehingga BPJS kesehatan akan menginformasikan lebih pasti mana RS yang memiliki ruang rawat atau ICU/ICCU kosong," imbuhnya.
Nantinya, desk khusus ini beroperasi 24 jam dan terus memantau ketersediaan ruangh perawatan atau ICU/ICCU dimasing masing RS. Selain itu, permasalahan darah BPJS Kesehatan harus mempunyai kerja sama khusus dengan PMI atau RS lain yang mempunyai stok darah, sehingga ketika pasien membutuhkan hal tersebut dapat terpenuhi.
Sementara itu, Menurut Ketua DJSN Chazali Situmorang mengatakan, hingga kini masih banyak puskesmas atau rumah sakit yang masih menggunakan sistem manual dalam pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Hal ini mengakibatkan risiko klaim ganda dan double kepesertaan pun tak bisa dihindarkan, ditakutkan akan membuat BPJS Kesehatan bangkrut.
Menurut dia, risiko klaim ganda dan double data peserta hanya dapat dikontrol dengan sistem online di seluruh lapisan BPJS Kesehatan, baik di pelayanan kesehatan tingkat primer hingga tersier.
Sehingga data peserta bisa dapat segera diakses jika yang bersangkutan sedang berobat. "Hal itu kemudian dapat mencegah adanya double kepesertaan. Namun diakuinya, hingga kini sistem online dalam BPJS kesehatan masih sangat minim," kata dia.
Dari sekira 9.600 Puskesmas yang tersebar di Indonesia misalnya, baru puskesmas di DKI Jakarta yang dikatakannya telah menggunakan sistem online yang baik. Risiko lainnya ialah, penyalahgunaan kartu anggota oleh orang lain.
Risiko ini, sangat banyak terjadi dalam jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) yang diterapkan sebelumnya. "Banyak terjadi pinjam meminjam dalam penggunaan kartu sehat tersebut. Cukup dengan usia yang sepantaran, gender sama. Tidak jarang rumah sakit yang juga tutup mata,” ujar Chazali.
Sumber Sindonews
No comments:
Post a Comment