Saturday, 14 June 2014

Kecemburuan di Kalangan Dokter

Mulai 1 Januari 2014, Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) akan dijalankan. Itu artinya seluruh fakir miskin dan masyarakat miskin akan mendapatkan fasilitas layanan kesehatan gratis dari pemerintah.

Namun, di kalangan stakeholder kesehatan sendiri masih terjadi pertentangan dan belum ada kesepahaman tentang apa itu BPJS.

Ambil contoh tentang besaran premi yang dipatok pemerintah sebesar Rp22 ribu. Sedangkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga punya hitungan lain dengan nominal lebih tinggi dari pemerintah.

Apa dan bagaimana BPJS dari kacamata IDI, berikut perbincangan wartawan JPNN, Mesya MOhammad, dengan Ketua IDI Dr Prijo Sidipratomo Sp.Rad, Kamis (4/10).

Dua tahun lagi BPJS akan dilaksanakan. Bagaimana kesiapan IDI terhadap hal ini?

IDI pada intinya siap mendukung BPJS dan siap menjadi garda terdepan dalam pelaksanaan BPJS. Apalagi ketika BPJS berlaku, itu berarti tidak ada pembedaan tindakan medis antara si kaya dan si miskin. Tidak boleh ada perbedaan di layanan primer maupun sekunder.

Kalangan DPR RI menilai ada ketidaksamaan visi antara stakeholder kesehatan mengenai BPJS. Apa yang sebenarnya terjadi?

Jujur saja, kami memang belum pernah diajak Kementerian Kesehatan untuk membahas masalah BPJS. Itu juga yang membuat kami sempat berandai-andai untuk melakukan "demo" bila BPJS dilaksanakan. Kenapa? Karena kami selaku bamper kok tidak pernah dimintai pendapat tentang penetapan iuran. Sementara saat BPJS dilaksanakan, setiap dokter dituntut profesional dan harus melayani seluruh pasien dari semua lapisan. Kami bahkan baru tahu tentang hitung-hitungan iuran BPJS saat rapat di DPR Senin, (1/10). Tapi sekarang kami masih menunggu undangan pemerintah untuk berembuk tentang masalah ini. Intinya kami ingin mendapat perlakuan yang adil lah.

Program BPJS memberikan dampak positif atau negatif bagi IDI?

Sebagai profesi dokter, kita punya etika. Jadi apakah ada dampak negatif atau tidak, saya tidak bisa menjawabnya. Sebenarnya BPJS ini lebih menonjolkan pada sistem rujukan. Jadi di sini pasien yang lebih diuntungkan, karena bisa memilih berobat ke dokter umum, dokter spesialis, dokter subspesialis atau tenaga kesehatan lainnya.
Karena di era SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), setiap pasien berhak mendapatkan fasilitas kesehatan primer (praktik dokter umum, klinik pratama, dan puskesmas) dan sekunder (praktik dokter spesialis, klinik utama, dan rumah sakit).

Untuk dokter umum, biayanya lebih murah, dan mudah diakses masyarakat. Namun, pelayanannya terbatas maksimal delapan jam. Klinik pratama biayanya lebih mahal, aksesnya lebih jauh, tapi pelayanannya dapat 24 jam.

Nah yang IDI persoalkan adalah keberadaan puskesmas. Selain pasiennya sangat banyak, mutu layanannya juga kurang bagus karena pelayanan medisnya bukan dilakukan oleh dokter. Jadi kalau semua puskesmas dijadikan pemerintah sebagai provider BPJS, dikhawatirkan pelayanan terhadap kesehatan masyarakat akan terbengkalai.

Jika pemerintah tetap mengandalkan puskesmas sebagai provider BPJS, dengan alasan biayanya lebih murah, bagaimana IDI memadangnya?

Kalau itu terjadi, berarti pemerintah sudah menyalahi aturan UU BPJS. Di dalam Pasal 23 ayat 1 hanya tertera fasilitas pelayanan kesehatan adalah rumah sakit, dokter praktik, klinik, laboratorium, apotik, dan fasilitas kesehatan lainnya. Fasilitas kesehatan lainnya ini apakah puskesmas? Kan tidak disebutkan tentang itu.

Selain itu, seluruh biaya yang diambil dari pasien sebagian besarnya disetorkan ke daerah sehingga kesejahteraan tenaga kesehatannya (nakes) tidak diperhatikan. Yang jadi pertanyaan sekarang, kalau nakesnya tidak sejahtera apakah dijamin mereka melayani pasien dengan baik. Kan tidak, boro-boro mikirin pasien, diri sendiri saja terbengkalai kok. Nah ini yang terus diperjuangkan IDI, agar pemerintah harus mempertimbangan masalah tersebut.

Bicara soal kesejahteraan, apakah ada dokter yang tidak sejahtera?

Itu terlalu subjektif. Dokter itu merupakan sebuah profesi. Tapi kebanyakan kalangan menilai dokter itu sejahtera. Padahal Anda tahu tidak ada dokter spesialis yang tinggal di pelosok bersedia dibayar Rp 2 jutaan? Dokter PNS saja gajinya hanya Rp 5 jutaan per bulan, apa bedanya dengan profesi lainnya. Kalau kemudian ada dokter spesialis yang bisa buka praktik sendiri dan banyak pasiennya, itu kan nasib-nasiban. Karena itu di era SJSN, IDI meminta agar ada pemerataan tarif jasa dokter dengan mempertimbangkan lama kerja dokternya. Tidak seperti sekarang, sama-sama dokter ahli, sama-sama menangani penyakit yang sama, tapi karena kelas rumah sakitnya berbeda, uang yang diterimanya berbeda. Yang begini ini selalu menimbulkan kecemburuan di kalangan dokter.

Dalam rapat dengan Panja Jamkesmas Komisi IX DPR RI, IDI meminta kenaikan tarif dokter ketika BPJS berlaku. Berapa angka idealnya sih Dok?

Pembiayaan dokter kita bagi menjadi dua. Pertama, layanan dokter primer dengan pembayaran pra bayar dengan kapitasi dan remunerasi. Kapitasi dilakukan bisa jumlah penduduknya cukup banyak dan tidak terkendala geografis. Bagi daerah yang penduduknya sedikit digunakan sistem remunerasi.

Kedua, layanan dokter spesialis dengan metode pembayaran remunerasi dan jasa medis. Selama ini jasa dokter hanya dibayar dengan tarif jasa medis yang tidak jelas aturannya. Jadi kalau pemerintah tidak bisa menerapkan sistem remunerasi, maka dokter spesialis harus dibayar dengan tarif jasa medis yang jelas.

Hitungannya, dokter layanan primer 10-14 x pendapatan perkapita nasional x kurs USD 1 x IGP (indeks geografis) dibagi 12 bulan. Untuk dokter spesialis 30-40 x
pendapatan perkapita nasional x kurs USD 1 x IGP dibagi 12 bulan. IGP ini dibedakan untuk daerah urban poin 1, terpencil 1,2 dan sangat terpencil 1,5.

IDI juga sudah menyusun dua model pembayaran kapitasi layanan primer. Model A (praktik dokter) dengan angka utilisasi 25-30 persen, di mana standar yang dilayani hanya kesehatan dasar saja, pelayanan maksimal 8 jam per hari oleh dokter praktik umum, emergensi 24 jam. Sedangkan tindakan medis berupaa pengobatan TBC, penyakit kronis, obat KB, vaksin, dan layanan kesehatan lainnya yang sudah dijamin program Kemenkes tidak masuk kapitasi.

Dengan demikian, jasa dokter praktik yang punya pengalaman di bawah 10 tahun tarifnya Rp 57 ribu per pasien. Dokter praktik dengan pengalaman lebih dari 10 tahun tarifnya Rp 67 ribu.

Model B (klinik pratama), standar pelayanan sama dengan model A, hanya saja bisa melayani persalinan dan laboratorium, waktu pelayanan 16-24 jam per hari oleh dua sampai tiga dokter praktik. Untuk layanan dokter klinik ini Rp 74 ribu bila pengalamannya di bawah 10 tahun. Jika di atas 10 tahun bayarannya Rp 84 ribu.

Dari hitungan IDI, tarifnya cukup tinggi ya, itupun baru dokter umum, apalagi dokter spesialisnya. Sementara masyarakat berpikir dengan BPJS tarif dokter justru lebih murah?

Nah ini yang sering salah di masyarakat dan pemerintah. Selama ini tarif yang diberlakukan seluruh rumah sakit di Indonesia memakai INA CBGs. Padahal tarif INA CBGs sangat merugikan dokter spesialis. Sebab, dokter dibayar dengan jasa medis yang sangat kecil. Itupun tergantung kebijakan direktur masing-masing rumah sakit. Bahkan perbedaannya sangat mencolok antar strata RS sekitar 30-50 persen. Akibatnya dokter yang berpraktik di RS tipe B, C, dan D tidak mendapatkan keadilan.

Sebagai contoh prosedur cesar, RS tipe A kelas III tarifnya Rp 6,3 juta, tipe B Rp 4,1 juta, tipe C Rp 3,9 juta, dan tipe D Rp 3,7 juta. Karena itu IDI mengusulkan agar tidak ada perbedaan tarif antara strata RS dengan tindakan medis yang sama. Selain itu tarif jasa medis harus ditetapkan tersendiri dan dipisahkan dari unit cost lain jika dokter tidak dibayar dengan remunerasi.

Terkait premi BPJS, pemerintah sudah menetapkan Rp 22 ribu per bulan. Apakah IDI masih tetap di angka Rp 50-60 ribu?

Besaran premi yang ditetapkan IDI itu sebenarnya sudah lewat analisa, dengan memperhitungkan nilai kapitasi layanan primer Rp 14.500 sampai Rp 21 ribu per orang perbulan. Jadi kalau pemerintah belum bisa memberikan perhitungan yang transparan tentang berapa besar nilai manfaat (jasa dokter) yang akan diterima dokter, kami masih akan pikir-pikir lagi. Yang jelas premi yang dipakai pemerintah tersebut masih menggunakan tarif INA CBGc dan tarif ini belum cocok diterapkan di Indonesia karena pembayaran kepada dokter belum memakai remunerasi. Kalaupun pemerintah tetap menggunakan tarif INA CBGs, harus segera dilakukan revisi secara transparan dan adil.
Sumber jpnn.com

No comments:

Post a Comment