Sehubungan dg dimulainya pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
yg diselenggarakan oleh Pemerintah RI melalui Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS), saya ingin berbagi sedikit soal sistem baru kita
ini sejauh yg saya pahami kpd teman2. Banyak teman2 yg sdh mengerti
tetapi jg masih byk yg belum mengerti mahluk apa itu & bagaimana
pengaruhnya thd kehidupan teman2.
Jd pada dasarnya, menurut saya, sistem kesehatan kita sudah melangkah
ke arah yg lebih baik, yaitu universal healthcare, pelayanan kesehatan
untuk semua. Sistem ini sudah ada sejak lama di Prancis, Inggris,
Kanada, Kuba. Kalau di Inggris, namanya adalah National Health Service.
Nah, JKN ini adalah program penjaminan kesehatan yg dilaksanakan oleh
BPJS. BPJS adalah badan yg mngambil alih PT Askes sejak 1 Januari 2014.
Bentuk programnya adalah seperti asuransi dimana pesertanya membayar
premi ke BPJS setiap bulan utk kemudian mendapatkan hak pelayanan
kesehatan sesuai dg aturan dari BPJS. Utk masyarakat yg miskin tidak
perlu membayar premi, tapi perlu terdaftar dulu di BPJS. Utk PNS, sudah
ditanggung. Utk pekerja, ada persentase berapa yg dibayar pekerja,
berapa yg dibayar perusahaan.
Sekarang bagaimanakah cara mendapatkan pelayanan kesehatan JKN?
Semua peserta yg ingin berobat, harus ke Dokter Umum atau Puskesmas
dulu, kecuali bila kasusnya adalah Kedaruratan. Jd tidak bisa langsung
ke Rumah Sakit atau Dokter Spesialis. Di Puskesmas & Dokter Umum utk
saat ini ada 144 jenis penyakit yg harus ditangani pada tingkat ini.
Apabila penyakitnya ternyata di luar 144 jenis penyakit tersebut, maka
bila diperlukan dapat dirujuk ke RS tipe C & atau B. Kalau tidak
bisa ditangani di kedua tipe RS tsb, baru dirujuk ke RS tipe A.
Utk pengobatan di tingkat Puskesmas, peserta JKN mendapatkan jatah
biaya Rp 6.000,00 perbulan dimana jumlah segitu adalah utk biaya admin,
obat, & jasa tenaga kesehatan. Di tingkat ini, Puskesmas mendapatkan
dana sesuai jumlah penduduk yg dilayani di daerahnya, misalnya ada ada
10.000 penduduk yg dilayani, maka BPJS menaruh dana sebesar Rp6.000,00 x
10.000 = Rp 60.000.000,00 di Puskesmas.
Utk pengobatan di tingkat RS, biayanya sesuai penarifan menurut
INA-CBG, contohnya utk kasus Appendisitis dijatah biaya yg ditanggung Rp
5.000.000,00 dari masuk sampai sembuh. Utk jatah kelas kamarnya sesuai
dg kelas premi yg diambil, ada 3 kelas.
Kelas 3, kelas 2, kelas 1.
Utk Maskin hanya bisa masuk kelas 3.
Di tingkat RS, BPJS mendapatkan laporan, lalu membayar sesuai dg paket biaya penyakit yg ditangani. Jadi bedanya RS & Puskesmas soal pembiayaan begitu.
Kelas 3, kelas 2, kelas 1.
Utk Maskin hanya bisa masuk kelas 3.
Di tingkat RS, BPJS mendapatkan laporan, lalu membayar sesuai dg paket biaya penyakit yg ditangani. Jadi bedanya RS & Puskesmas soal pembiayaan begitu.
Sampai di sini kelihatannya sederhana & mudah ya. Tetapi saya
sebagai pelaku kesehatan menemukan beberapa kekurangan YANG HARUS SEGERA
DIPERBAIKI karena bisa membahayakan & sangat merugikan kita semua,
& ada hal yg harus kita kontrol bersama.
Yg pertama soal jatah biaya pengobatan.
Di Puskesmas Rp 6.000,00 perpasien itu sangat rendah. Anggaplah alokasi biayanya utk admin Rp 2.000,00, lalu tenaga kesehatan Rp 2.000,00, berarti alokasi utk obat hanya Rp 2.000,00. Ini absurd, krn obat apa yg bisa diberikan utk pasien2 yg datang bila hanya diberi dana Rp 2.000,00. Bahkan sebelum JKN ini dimulai saja obat-obatan yg ada di Puskesmas sangat terbatas.
Di Puskesmas Rp 6.000,00 perpasien itu sangat rendah. Anggaplah alokasi biayanya utk admin Rp 2.000,00, lalu tenaga kesehatan Rp 2.000,00, berarti alokasi utk obat hanya Rp 2.000,00. Ini absurd, krn obat apa yg bisa diberikan utk pasien2 yg datang bila hanya diberi dana Rp 2.000,00. Bahkan sebelum JKN ini dimulai saja obat-obatan yg ada di Puskesmas sangat terbatas.
Teman saya bercerita dia pernah dimarahi pasien askes yg hanya
mendapat obat minum karena obat salep yg dia butuhkan tidak tersedia di
Puskesmas, ketika diberi resep utk terpaksa beli obat salep itu di
apotek luar, pasien itu melempar obat minum tadi ke mejanya sambil
bersungut-sungut pergi. Bagaimana dg sekarang? Kakak kelas saya cerita
soal pasien datang ke Puskesmasnya krn dia sdh tak bisa ke RS
langganannya lg tanpa dapat rujukan dari Puskesmas. Ternyata penyakitnya
harus ditangani Puskesmas, tapi obatnya tidak ada. Jd perlu beli
sendiri. Lalu pemeriksaan laboratorium yg ditanggung BPJS pun hanya
sedikit, jd di luar itu terpaksa bayar sendiri.
Yang kedua soal 144 penyakit yg harus ditangani di Puskesmas. Banyak
sekali penyakit yg mustahil ditangani di Puskesmas dg kondisi saat ini.
Tetanus contohnya, butuh rawat inap di ruang khusus yg tertutup. Adakah
Puskeesmas yg sudah memiliki fasilitas seperti itu. Lalu apakah Rp
6.000,00 cukup membiayainya?
Yang ketiga, dan ini sudah mendatangkan masalah luar biasa di RS
tempat saya bekerja. Soal paketan biaya pengobatan per penyakit. RS
tempat saya bekerja adalah RS Dr. Soetomo, RS tipe A pusat rujukan
Indonesia Timur, RS yg tidak boleh menolak pasien walau bed yg ada sudah
penuh sekalipun. Paketan biaya per penyakit yg diatur INA CBG benar2
tidak rasional & memaksa utk tidak mengikuti keilmuan yg susah payah
kami pelajari bertahun-tahun. Contoh kasusnya adalah keadaan IRD saat
ini yg penuh hingga pasien2 terpaksa dirawat dg menggelar matras di
lantai. Ini karena pasien2 tersebut sebelumnya dirawat di RS lain,
tetapi paketan plafon biayanya sudah habis, shingga RS2 tersebut
terpaksa merujuk ke RS Dr. Soetomo. Lalu bagaimana dg penanganan di
Soetomo? Ya sama saja plafonnya, kan nurut INA CBG juga. Terus kalau
kurang bagaimana? Wallahualam, saya ga berani menjawab. Kalau ngutang
juga siapa yg membayar. Contoh kasus lain adalah INA CBG memaksa pasien
strokee pulang setelah dirawat 7 hari. Bro Sis sekalian, ilmu saya
mengajarkan pasien stroke perlu ngamar 14-21 hari sampai masa kritis
terlewati. Masa kritisnya adalah saat pembengkakan otak muncul yg bisa
meenyebabkan kematian, dg ngamar, dia bisa dipantau sehingga bisa segera
ditangani sebelum ajal menjemput. Sekarang kalau hari ketujuh sudah
dipulangkan, saya juga cm bisa berdoa. Contoh lain lagi, di departemen
saya, Departemen Ilmu Kedokteran Fisik & Rehabilitasi Medik, pasien2
yg lumpuh menjalani beragam terapi agar bisa berkegiatan seperti
semula. Tapi sejak era BPJS ini, 1 pasien hanya bisa mendapat 1 jenis
terapi, 1x seminggu. Sampai kapan pasien2 itu bisa berjalan lg dg 1 sesi
yg hanya bisa memberi 1 jenis terapi? Saya nggak tahu juga.
Kalau anda mau bicara soal kelalaian medis (orang awam biasa sebut malpraktek), ini baru kelalaian yg sebenar-benarnya.
Kalau anda mau bicara soal kelalaian medis (orang awam biasa sebut malpraktek), ini baru kelalaian yg sebenar-benarnya.
Masih banyak kritik2 saya terhadap program yg menurut saya terlalu
prematur utk dijalankan. Saya sendiri sangat mendukung apabila Universal
Healthcare Systm ini dijalankan dg benar. Karena menurut saya, menurut
saya lho ya, ini adalah sistem yg terbaik. Tetapi JKN ini bukanlah
sistem yg saat ini saya idam-idamkan. Katanya akan dievaluasi setelah 3
bulan. Semoga 3 bulan ini tidak ada jiwa yg terkorbankan…
No comments:
Post a Comment