Monday 15 September 2014

Peluang di Sobekan Kertas

Irving Stern adalah sopir taksi di New York. Suatu kali di tahun 1966, ia melintasi York Avenue. Ketika sedang melintas di depan New York Hospital, seorang pria berpakaian rapi memanggilnya. Stern menghentikan taksinya, lalu pria itu minta diantarkan ke bandara LaGuardia.


Setelah sekian lama perjalanan, pria itu bertanya, “Kenapa Anda menjadi sopir taksi?”
Stern meliriknya dari kaca spion, lalu menyahut. “Kalau ada pekerjaan yang bisa membayar saya lebih dari US$100 seminggu, saya akan berhenti menjadi sopir taksi,” sahut Stern.

“Saya tak akan berhenti jika hanya untuk uang US$100 seminggu,” sahut lelaki itu.
“Memangnya pekerjaan Anda apa?”
“Saya ahli saraf di New York Hospital...,” jawabnya.

Stern terdiam. Ia tak begitu banyak pengetahuan tentang ilmu saraf. Ia juga tak paham kira-kira apa yang bisa ia dapatkan dari ahli saraf itu jika meneruskan obrolannya. Namun karena tak enak diam-diaman, akhirnya Stern menanyakan sesuatu.

“Boleh saya bertanya?” katanya. “Saya punya anak lelaki, prestasi belajarnya baik di sekolah. Saya tadinya mau mengirimkan dia ke acara perkemahan di liburan musim panas ini. Tapi ia maunya bekerja. Mana mungkin ia diterima magang, usianya saja baru 15 tahun. Kalau saja saya punya kenalan pengusaha, mungkin ia bisa mendapatkan pekerjaan magangnya selama libur. Sayangnya saya tak punya…”

“Barangkali Anda bisa membantu, tak apa-apa tak dibayar juga,” sambung Stern.

Ternyata pria itu tidak menyahut. Stern sampai merasa bersalah dan malu. Akhirnya, sampai juga di bandara. Sambil mengulurkan bayarannya, pria itu berkata, “Anak-anak mahasiswa kedokteran sedang ada proyek penelitian musim panas ini, mungkin anak Bapak bisa ikut membantu proyek mereka. Kirimkan saja fotokopi rapornya ke saya,” katanya. Ia mencari kartu namanya di saku, tapi tidak ketemu karena sudah habis. Ia pun minta kertas untuk menuliskan namanya. Karena Stern tak bawa kertas, ia merobek bungkus makanannya. Tamunya itu lalu menuliskan, Fred Plum, N.Y. Hosp, di sobekan kertas itu dan memberikannya ke Stern.

Sampai di rumah, Stern menceritakan pertemuannya dengan dokter Fred Plum dan menyebutkan bahwa Robert Stern, anaknya, mungkin bisa kerja magang saat liburan musim panas tahun itu. Tapi karena nama itu tak jelas, anak dan istrinya meragukannya. Yah... orang itu bisa siapa saja. Bisa saja bercanda. Selama seminggu, sobekan kertas itu hanya jadi bahan olok-olok keluarga. Mana ada “peluang kerja” didapat dari sobekan kertas?

Dua minggu berlalu. Ketika Stern pulang, putranya menghampirinya dengan sebuah amplop bertuliskan Fred Plum, MD, Neurologist-in-Chief, New York Hospital. Rupanya karena minat bekerjanya tinggi, diam-diam Robert menelepon New York Hospital, berbicara dengan sekretaris dokter Fred Plum, dan ia pun mendapat panggilan wawancara.

Akhirnya di musim panas 1966 itu, Robert Stern mendapat pekejaan magang sebagai sukarelawan di New York Hospital di bawah pengawasan dokter Fred Plum dengan bayaran US$40 seminggu. Tahun berikutnya, ia mendapatkannya kembali. Karena terbiasa bekerja di laboratorium, Robert tertarik menjadi dokter. Keinginan itu rupanya didengar dokter Fred. Ia berjanji akan membantunya dengan cara memberikan surat rekomendasi ke universitas yang diminati Robert. Dengan surat rekomendasi berdasarkan hasil kerja magangnya, akhirnya Robert Stern diterima di New York Medical College.

Beberapa tahun kemudian, Robert Stern tumbuh jadi seorang ahli kandungan ternama di New York. Ia selalu bangga pada ayahnya yang telah membuka jalannya untuk menjadi dokter.

“Kadang kita menemukan peluang dalam keadaan tidak terduga, seperti dari pembicaraan seorang sopir taksi dan seorang dokter,” kata sang ayah. Ia pun merasa bangga, meskipun dirinya sopir taksi, ia bisa membawa putranya hingga menjadi orang yang berhasil dan bermanfaat bagi banyak orang.
sumber andriewongso

No comments:

Post a Comment