Friday, 26 September 2014

Meniru Orang Kaya, Belajar dari Orang Miskin

Di sore hari yang cerah, saya terlibat sebuah perbincangan dengan seorang teman baru yang dikenalkan oleh partner bisnis saya. Beliau adalah seorang praktisi NLP (Neuro Linguistik Programming), sehingga saya menjadi amat tertarik untuk mempelajari NLP.

Tidak sampai 30 menit pebincangan saya dengan orang ini, saya menjadi sangat akrab. Hingga kami sampai pada sebuah topic pembicaraan yang menarik, bahwa ada sebuah fenomena menarik yang sering didapati pada orang tua-orang tua yang telah memiliki anak, bahwa mereka sebenarnya membuat anaknya menjadi siap miskin!

Mengapa bisa demikian?

Ada beberapa yang point yang dapat bisa dimimak mengenai hal itu,

Pertama, dokter mengajarkan membangun rumah. Anda tentu tahu bahwa seorang dokter adalah seorang yang ahli dalam menyembuhkan penyakit? Sedangkan, orang yang merancang konstruksi bangunan berhubungan dengan teknik sipil? Lantas, apa jadinya bila seorang dokter mengajarkan orang lain bagaimana caranya membangun rumah? Ya, jawabannya adalah rumahnya tidak jadi, atau begitu selesai, rumahnya ambruk.

Nah, ini rupanya terjadi dalam kehidupan antara anak dan orang tua. Orang tua ingin memberikan teladan banyak hal kepada anaknya. Tentunya, pengetahuan terbaik dari orang orang tua akan diberikan kepada anaknya.

Bila seorang anak dokter ingin menjadi dokter, saya yakin 100 persen orang tuanya akan memberikan segala ilmu dan pengetahuannya. Namun, bila seorang anak ingin belajar menjadi ahli dalam kekayaan dan orang tuanya tidak memiliki pengetahuan tersebut, maka bisa diartikan seorang anak masuk ke dalam kategori salah didik.

Kedua, fenomena kupu-kupu. Sebelum menjadi kupu-kupu, binatang itu berasal dari larva dan membentuk kepompong. Namun, apakah yang terjadi ketika kita memaksa seekor kupu-kupu yang masih berada di dalam kepompong untuk keluar dengan maksud yang sebenarnya baik, yaitu agar bisa segera terbebas? Tentunya kupu-kupu tersebut akan mati!

Saking terlalu sayang pada anaknya, banyak orang tua yang berkecukupan justru memanjakan anak-anaknya dan membuat mereka ‘mati’ di masa depannya, mengapa? Mereka sebenarnya tidak siap untuk ‘terbang’, namun mereka hanya siap ketika semua disediakan oleh orang tuanya. Selama ini, banyak orang tua yang salah mengartikan kata sayang dengan berusaha membuat anaknya terus menerus nyaman.

Masalahnya, suatu hari, suatu saat, seorang anak akan berpisah dengan orang tuanya. Apa jadinya ketika harus berdiri sendiri, namun seumur hidup anak tersebut telah dibantu dan dicukupi oleh orang tuanya?

Ketiga, fenomena teladan. Masih berkaitan dengan point sebelumnya, banyak orang tua kaya ingin memberikan kenyamanan dengan mempersiapkan semua bagi anak-anaknya. "Nak, kamu tidak usah ikut-ikut kerja, ini semua sudah ayah/ibu siapkan untukmu."

Orang tua yang kaya dan sukses, seharusnya anaknya bisa meneladani. Namun, karena rasa sayang yang salah, membuat anaknya menjadi malas karena mendapat pesan ‘tidak usah ikut-ikut’.

Lain halnya dengan orang miskin, "Nak, lihat ayah/ibu, sudah bekerja mati-matian, tapi masih saja susah. Kamu harus seperti ayah/ibu bekerja lebih keras lagi."

Kontrasdengan orang tua kaya, justru si orang miskin meminta anaknya melihat dirinya sebagai orang tua dan bekerja mengikuti apa yang mereka lakukan. Menurut Albert Einstein, “Hanya orang gila, mengulang dua aktivitas yang sama untuk mengharapkan hasil yang berbeda”.

Sudah jelas-jelas cara yang dilakukan oleh orang tuanya salah, justru anaknya malah minta melakukan cara yang sama. Namun ada sebuah hal menarik yang diungkapkan orang miskin: bekerja lebih keras lagi.

Andaikan seseorang yang belajar dari kesuksesan orang kaya dengan semangat orang miskin, hasilnya akan WOW..

Bagaimanapun, semua orang ingin menjadi sukses, kaya dan bahagia. Namun, bila tidak tahu caranya, hal itu sama saja dengan berjalan tanpa tujuan. Anda akan berputar-putar. Lantas, apa cara yang terbaik? Mulailah belajar hari ini juga, luangkanlah waktu, bukalah diri dan pikiran, niscaya kita akan mengetahui dengan rendah hati, apakah kita salah dan kita mau memperbaikinya.

Salam Investasiuntuk Indonesia
sumber Ryan Filbert

No comments:

Post a Comment