Malam itu hujan rintik-rintik. Angin berhembus dengan kencang. Cuaca
memang sedang tidak bersahabat belakangan ini. Siang panas terik, malam
angin kencang membawa hembusan dingin yang menusuk hingga tulang. Ini
bukan penggalan lagu atau cerita, tapi pengalaman buruk saya di suatu
malam.
Saya dengan pak suami membawa Mayra, si tengah saya, yang sedang
demam. Sudah 3 hari dia demam, dan dari hasil cek darah di klinik dekat
rumah 3 hari sebelumnya, dia positif tipes (saya nggak tahu cara nulis
penyakit tipes ini, jadi saya tulis sesuai bacanya aja deh). Karena
panasnya sudah 3 hari, saya paksa dia bawa ke rumah sakit.
Di satu rumah sakit di daerah Ciputat dengan inisial S.A., saya ke
UGD. Penanganannya cukup cepat, dan dokter juga segera memeriksa May.
Dari hasil lab 3 hari yang lalu, dokter langsung menyuruhnya dirawat.
Saat itu dia khawatir karena trombositnya May 167rb. Saya pun ke bagian
pendaftaran untuk mencari kamar. Di sana saya menyerahkan kartu BPJS,
dan tak lama diberitahu bahwa kamar kelas 1 hingga kelas 3 untuk anak
penuh.
Saya tanya, “kalau saya tidak pakai BPJS, ada kamar?” Karena saya
pikir untuk BPJS dikasih kuota atau apa. Tapi susternya bilang kalau
mereka tidak membedakan BPJS dengan yang biasa. Kalau ada kamar kosong
pasti mereka akan berikan. Oke sip. Dan suster pendaftaran itu
menyarankan untuk minta obat saja sama dokter buat malam ini, dan
besoknya balik lagi, siapa tahu ada yang pulang.
Saya pun menyampaikan hal ini pada dokter. Tapi dokter bersikeras
untuk memberi rujukan, karena alasannya trombositnya sudah sangat mepet
ke batas normal (normalnya 150rb – 400an ribu gitu saya lupa) Saya pun
bertanya rumah sakit mana yang menerima BPJS karena saya sama sekali
belum pernah menggunakan kartu ini. Dokter tersebut menyebut RSUD
Tangerang Selatan dan Fatmawati. Saya tanya RS yang dekat dengan rumah
apakah menerima, ternyata ada yang menerima BPJS, ada juga yang tidak.
Oh, masih begitu ya? Kirain kalau sudah wajib punya BPJS, semua rumah
sakit akan bekerja sama, mau itu swasta atau yang premier sekali pun.
Anyway, singkat cerita saya ke RSUD, karena yang terdekat. Sampai di
UGD sana, tanpa diperiksa (kami masih berdiri di depan pintu!) dan
dokternya terlihat enggan, bilang kalau semua kamar penuh. OK. Dari pada
dibahas soal attitude dokter RSUD yang memang sudah jempol turun, saya
ceritakan saja bagaimana di tengah angin kencang dan gerimis itu kami
harus mencari rumah sakit lain, dan akhirnya pilihan jatuh ke RS yang
tidak begitu jauh dari rumah, kita sebut saja inisialnya B.B.H.
Sesampainya di UGD dengan membawa surat rujukan dan hasil test darah 3
hari yang lalu, dokter jaga (sekali lagi tanpa memeriksa anaknya) hanya
melihat hasil lab tsb bilang kalau dia tidak melihat keharusan untuk
dirawat. Karena dia lihat trombosit masih 167rb.
“Panasnya sejak kapan?” tanyanya.
“Kamis malam.” Dan itu sudah hari Minggu.
Dia hitung-hitung. “Oh, baru 3 hari ya?”
Baru? BARU? Dia bilang 3 hari panas itu BARU? Terus terang saya
emosi, tapi saya coba tahan. Bisa bayangkan jam sudah menunjukkan pukul
12 malam, dan tanpa periksa sama sekali, dokter itu bilang seperti itu.
“Saya tidak masalah kalau memang anak saya harus pulang.” Saya bicara
dengan nada rendah. Asli mau nangis! “Tapi saya minta tolong untuk
dicek lagi saja darahnya, karena itu hasil lab hari Jumat.”
Baru deh si dokter lihat tanggal di kertas hasil lab. “Oh, ini test hari Jumat ya?”
*PLAK!* Rasanya dia yang kuliah kedokteran ya? Saya kan cuma pustakawan yang bloon soal medik.
Akhirnya May diambil darah lagi, dan hasilnya trombosit 110rb. See?
SEE? Kalau saya nggak ngotot, apalah jadinya? Tapi saya diam aja. Saya
biarkan dokter itu bicara. Dan bukannya nyuruh buru-buru ke pendaftaran
untuk cari kamar, beliau, dokter yang terhormat ini, bilang begini:
“Ibu pulang saja dulu, besok ke sini lagi. Dan kita cek lagi darahnya.”
HA? Saya melongo. M-mak-maksud si dokter apa ya? Saya masih belum
bisa mencerna. Pulang? Sebego-begonya saya yang nggak punya ijazah
kedokteran, saya tahu kalau trombosit udah dibawah batas normal itu
artinya udah nggak normal!
“Maksud dokter?” Saya kasih kesempatan dia buat njelasin pernyataan (maaf) bloonnya barusan.
“Iya, ibu mau pakai BPJS kan? Kalau pake BPJS, trombosit harus di bawah 100.”
WHAT THE #@$%^&*!!!
“Jadi tunggu anak saya kritis dulu, baru ditangani, begitu?” Saya
sudah emosi. Sakit jiwa kali ya? Peraturan sampah macam apa ini? Saya
udah bayar kartu itu sejak beberapa bulan yang lalu, tapi nggak bisa
dipakai karena peraturannya sampah!
“Ibu, bukan kami yang membuat peraturan.”
Oke, OKE! Bukan mereka yang buat peraturan. Tarik napassss… Keluariiiinnn… Tarik lagi…. ISTIGHFAR.
“Saya nggak pakai BPJS, tolong tangani anak saya.”
Baru deh, setelah saya keluarkan pernyataan itu, ada tindakan dari mereka.
So, kita wajib nih bikin kartu BPJS, tapi peraturan yang dibuat
benar-benar nggak masuk akal saya sebagai seorang ibu yang panik, dan
sedih anaknya sakit. Bahkan di UGD rumah sakit pertama yang saya
datangi, saya baca peraturan emergency yang bisa menggunakan kartu BPJS,
di antaranya adalah jika panas badan sudah 39 derajat. Oh my! Padahal
May panasnya gak sampe 39 udah tipes, gimana kalau harus nunggu 39 dulu
baru dibawa karena ingin pakai BPJS? Bagus kalau masih sempat ditangani,
kalau keburu ‘lewat’? Naudzubillah…
Sebenarnya saya sangat mendukung lho program BPJS ini, buktinya saya
langsung membuatkan untuk keluarga saya. Cuma yang bayi aja belum nih,
karena belum sempat. Tapi sekarang saya jadi galau. Satu sisi semua
orang wajib pakai BPJS, tapi kalau peraturannya harus nunggu panas 39
dan trombosit di bawah 100, dan mungkin banyak peraturan lain yang tidak
tersosialisasikan dengan jelas, gimana saya nggak merasa rugi bayar?
Mending uangnya saya tabung untuk uang kesehatan sendiri aja. Atau pakai
asuransi swasta saja yang jelas manfaatnya.
sumber melakonihidup.wordpress.com
No comments:
Post a Comment