Sunday, 7 December 2014

Tolong Dimengerti Kenapa Rumah Sakit Menolak BPJS?

Beberapa hari lalu cukup banyak menerima broadcast yang intinya berbunyi tentang penolakan pasien oleh beberapa atau banyak rumah sakit. Bunyi broadcast BBM tersebut kira-kira seperti ini:
“Teman2 TOLONG bantu BC biar sampai ke Gub AHOK dan PRESIDEN wong cilik Jokowi katanya, RS. Tolak pasien BPJS. Pak jokowi tolong diperhatikan, butuh bantuan untuk bisa membuktikan kegunaan BPJS.

Nama Anak: Abbiyasa Rizal Ahnaf
Usia : 2 Thn.
Diagnosa: Ilius obstruksi, ilius paralitik.
Penyumbatan pencernaan.
Saat ini membutuhkan bedah digestif segera.
Saat ini Dirawat di RS. Pasar Rebo ruang HCU (High Care Unit) lantai 6, gedung C.
Membutuhkan RS dengan Fasilitas PICU (pediatric intensive care unit) dan dokter spesialis bedah anak.
Kontak orang tua: 081219554179.
Sudah Mencari RS tapi tak satupun membantu dengan berbagai alasan:
1. RSCM - penuh
2. RSPAD - Tdk punya Ruang Picu, tp Dokter ada. Dr Catur namanya.
3. RS Haji - Ruang dan dokter ada tp ventilator utk pasca operasi ngak ada. Jd dokter ngak berani bedah.
4. RS polri - penuh
5. RS Harapan bunda - ngak terima pasien BPJS. Dp awal 15-20 jt
6. RSIA Harapan Kita - penuh
7.RS fatmawati - penuh
8. RS persahabatan - penuh.
9. RS Bunda aliya - ngak punya dokter spesialis.
10. RS tarakan - penuh
11. RS UKI. - Ngak punya fasilitas NICU.
12. RS. Cikini - Penuh
13. Carolus - penuh
14. Rs Pelni. - penuh
15. Rs islam Jkt - penuh
16. RSPP - ngak terima BPJS
17. RS Bunda Margonda - ngak terima BPJS.
18. Rs permata - ngak ada fasilitas dan dokter
19. Rs Mitra - ngak ada fasilitas dan dokter
20. RS Premier jatinegara -ngak terima BPJS
21.RS BUNDA menteng - penuh.
22. RS Thamrin - Dp 30 jt.
Gak usah nyumbang duit..cukup share agar info ini sampe ke manusia yg bertanggung jawab.
Sorry, hanya lanjutin b’cast :D({})
Tergelitik untuk ikut mengomentari, tak sekedar hanya dengan mudah dan ringannya ikut menyebarkan broadcast yang seolah ingin  menyudutkan rumah sakit. Walaupun berita diatas menurut informasi sudah langsung di tangani oleh Gubernur DKI ahok dan sudah diluruskan tentang permasalahan yang terjadi.
Diluar klarifikasi Bapak Ahok tersebut supaya diantara masyarakat dan petugas kesehatan dapat saling memahami dam tak sekedar berprasngka buruk saya kira perlu juga untuk mengetahui kondisi sebenarnya yang sering terjadi di rumah sakit. Beberapa penjelasan berikut semoga dapat membuka mata anda tentang dunia kedokteran di negara kita.
Pertama, perlu diketahu bahwa pada diagnosis penyakit pada kasus ini adalah Illeus, kondisi ini adalah keadaan gangguan saluran pencernaan (passage usus) yang memerlukan tindakan bedah segera (cito) untuk menurunkan resiko kematian. Angka kematian dapat semakin meningkat pada anak kecil dan orang yang sudah tua. Tujuan tindakan operasi adalah untuk dekompresi pada bagian yang mengalami obstruksi sehingga mencegah perforasi (kebocoran usus). jadi sudah cukup jelas ya bahwa memang benar kondisi Illeus ini sangat berbahaya, membutuhkan penanganan bedah segera dan perawatan pasca operasi juga dibuthkan unit ruang perawatan khusus mengingat kondisi pasien adalah bayi usia 2 tahun.
Kedua, Kita langsung pada pokok permasalahan yang sering mengakibatkan terjadinya penolakan di rumah sakit. Seperti yang juga disebutkan didalam isi broadcast BBM diatas.
1. Ketiadaan Ruangan (penuh)
Dalam kasus ini menurut info diatas  bayi memerlukan ruangan PICU (pediatric intensive care unit), ruang ini adalah ruangan khusus bagi pasien-pasien balita dan anak yang memerlukan perawatan khusus dan intensif. Perlu diketahui tidak semua rumah sakit memeliki ruangan PICU, dan jika ada pun jumlah tempat tidur dan peralatan di ruang PICU sangat terbatas.
Kenapa jumlah PICU terbatas? kenapa rumah sakit ga bikin yang banyak sekalian? ga niat bikin rumah sakit?
Untuk membangun sebuah ruangan ICU atau PICU dibutuhkan peralatan yang supercanggih dengan harga yang selangit. Itulah kenapa tidak semua rumah sakit bisa memiliki fasilitas tersebut. Sementara dana anggaran kesehatan yang disediakan masih jauh dari angka cukup untuk melengkapi alat-alat tersebut. Karena dana yang ada tak hanya dicukupkan untuk biaya ICU saja melainkan untuk menutupi anggaran biaya yang diperlukan untuk seluruh fasilitas lain di rumah sakit  seperti: bangsal rawat inap, UGD, kamar operasi, laboratorium, kamar bersalin, poliklinik, fisioterapi, bahkan sampai dapur dan cleaning service, belum untuk pembayaran biaya operasional seperti listrik, telepon, ambulance, pembayaran karyawan, dll.
Selain itu ruangan ICU dan PICU membuthykan tenaga-tenaga medis paramedis khusus yang terlatih. Tidak semua petugas kesehatan memiliki sertifikasi/kompetensi keahlian di bidang intensife care unit, untuk mendapatkan kemampuan tersebut tenaga kesehatan harus melalu pelatihan demi pelatihan yang membutuhkan biaya besar. Sementara tidak semua tenaga kesehatan memiliki biaya untuk menjalani pelatihan tersebut selain tentunya karena memang fasilitasnya yang tidak tersedia. hal ini mengakibatkan terbatasnya jumlah tenaga medis-paramedis yang menguasai keahlian di bidang ini.
Lalu salahnya dimana jika ada rumah sakit yang menolak pasien karena ruang ICU / PICU penuh ???
Kalaupun rumah sakit dipaksa menerima pasien tersebut, sementara ketiadaan ruang perawatan khusus bukankah sama saja kita membiarkan pasien tersebut meninggal perlahan-lahan karena tidak dirawat dengan baik dan maksimal seperti yang seharusnya dia dapat? kalau pasien meninggal nanti siapa yang disalahkan? siapa yang akan disorot dan dituduh malpraktik? lagi-lagi rumah sakit dan tenaga kesehatan didalamnya.
2. Ketiadaan Dokter
Tidak semua rumah sakit memiliki dokter spesialis yang lengkap. Termasuk pada kasus ini pasien membutuhkan penanganan oleh dokter spesialis bedah anak atau bedah digestif. Perlu ktia semua tahu bahwa kedua spesialisasi ini bisa disebut dokter super spesialis atau konsultan. Jumlahnya sangat sedikit dan biasanya hanya ada di rumah sakit besar yang menjadi pusat rujukan. Selain itu karena jumlahnya yang sedikit menyebabkan kesibukan yang luar biasa pada kedua dokter subspesialisasi bedah ini sehingga jadwal praktek dan operasinya menjadi sangat padat.
Lalu salahkan jika akhirnya ada rumah sakit yang menolak pasien karena tidak ada dokter yang sesuai dengan kompetensi penyakit yang diderita pasien?
Tidak mungkinkan kita serahkan pasien pada dokter yang tak sesuai dengan kompetensinya?  kalau pasien meninggal nanti siapa yang disalahkan? siapa yang akan disorot dan dituduh malpraktik? lagi-lagi rumah sakit dan tenaga kesehatan didalamnya.
3. Ruangan dan dokter ada, tapi fasilitas tidak lengkap
Dalam broadcast diatas disebutkan bahwa ada rumah sakit yang memiliki ruangan PICU dan juga dokter terkait (tak disebutkan dengan pasti dokter bedah anak/digestif) , namun kendalanya umah sakit itu tak memiliki VENTILATOR. Pernah dengar nama alat ini? jika belum coba saya terangkan sedikit ya. Ventilasi Mekanik Ventilator merupakan  alat bantu pernafasan yang berfungsi untuk memberikan bantuan nafas pada pasien dengan cara memberikan tekanan udara positif pada paru-paru , sehingga sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi tetap terjaga. Alat ini sangat diperlukan pada kasus-kasus emergency tertuama digunakan pada pasien yang mengalami kegagalan nafas secara spontan.
Lagi-lagi seperti saya sebutkan diatas bahwa tak semua rumah sakit memiliki alat bantu nafas ventilator ini karena harganya yang sangat mahal. Kalaupun ada jumlahnya sangat terbatas di rumah saki rujukan (pusat) dan biasanya dirumah sakit tersebut seringnya sudah terpakai oleh pasien lain yang juga memerlukan alat yang sama. Banyak kondisi penyakit pasien yang sangat tergantung ventilator. Jadi ketika alat ini dilepas pasien dapat segera mengalami kegagalan nafas dan berakibat kematian.
Lalu salahklah ketika rumah sakit menolak pasien yang harus segera dioperasi karena kasus kegawatan tapi ditolak karena rumah sakit tak punya ventilator?
Percuma bukan ketika pasien sudah di tangani dokter ahli bedah anak tapi paska / setelah operasinya tidak mendapatkan perawatan yang sesuai dengan standar penanganan pada kasus kegawatan yang dialami pasien tersebut. Dokter dan rumah sakit tentunya tidak mau mengambil resiko membiarkan pasien dirawat seadanya ketika paska operasi. Tentu saja  karena kalau pasien meninggal nanti siapa yang disalahkan? siapa yang akan disorot dan dituduh malpraktik? lagi-lagi rumah sakit dan tenaga kesehatan didalamnya.
4. Tidak terima BPJS
Perlu diketahui bahwa tidak semua rumah sakit ataupun klinik bekerja sama dengan BPJS. Jadi ketika ada pasien yang mau menggunakan BPJS di rumah sakit yang tak ada kerja sama dengan BPJS tentu saja wajar jika tidak diterima. Karena dengan BPJS pembiayaan dari si sakit nantinya akan di cover atau ditanggung oleh lembaga BPJS itu sendiri. Nah jika rumah sakit tak kerja sama dengan BPJS lalu siapa yang akan membayarkan biaya pengobatan pasien tersebut? sementara BPJS sendiri juga pastinya tak akan mau untuk membayar pada rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan mereka, walau dengan alasan kemanusiaan sekalipun.
Lalu salahkah jika rumah sakit yang menolak pasien karena alasan tidak kerjasama dengan BPJS sementara pasien tetap memaksa ingin menggunakan BPJS?
5. Rumah sakit minta DP?
Menurut keterangan diatas di rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS pasien dimintai DP uang terlebih dahulu jumlahnya bervariasi antara 15-30 juta. Benarkah? menurut saya kondisi bisa jadi benar juga bisa jadi salah atau terlau dilebihkan. Saya sendiri bekerja di sebuah rumah sakit bedah swasta non BPJS sampai hari ini rumah sakit tidak pernah meminta DP sedikitpun pada pasien. Namun kelemahannya sering terjadi setelah pasien dioperasi, pasien tersebut tidak membayar karena tidak punya uang atau pasien berhutang tapi membayarnya semau mereka sendiri. Akhirnya rumah sakit harus nombok dan merugi. Lagi-lagi walau dengan alasan kemanusiaan yang namanya operasi itu biayanya tidak lah sedikit dan cendwerung mahal karena untuk biaya obat-obatan, biaya dokter, perawat, alat-alat dan operasional lainnya. Terlebih lagi untuk perawatan pasien emergeny yang memerlukan perawatan dan ruangan khsusu tentunya biayanya akan jauh lebih besar. Jika jangan heran jika ada rum,ah sakit terancam bangkrut karena kondisi keuangannya yang tidak sehat dikarenakan perputaran uangnya yang juga tidaklah sehat.
Lalu salahkah jika rumah sakit yang tidak bekerja sama dengan BPJS menolak pasien karena pasien tidak bersedia memberikan DP pada rumah sakit?
Sejatinya DP itu sendiri bukan berarti masuk ke kantong pribadi rumah sakit, tapi DP itu akan digunakan untuk mencukupi pembelian obat-obatan dan biaya operasional persiapan operasi dan paska operasi yang akan digunakan untuk pasien itu sendiri,. Dan sekali lagi memang jumlah biaya untuk operasi itu tidaklah sedikit terlebih lagi pasien tersebut memerlukan perawatan intensive khusus dan tidak semua rumah sakit memiliki uang CASH yang bisa sewaktu-waktu dikeluarkan guna membiayai operasi pasien. Kembali lagi ke atas bahwa untuk dapat bertahan (tidak bangkrut) rumah sakit juga harus pandai-pandai mengatur manajemen keuangan mereka.
Sebenarnya selain problem diatas masih banyak kendala-kendala yang sering dialami baik oleh pasien maupun pihak rumah sakit dan pelayanan kesehatan kita pada umumnya. Tapi itulah peliknya problem kesehatan di negara kita jika dibandingkan negara tetangga seperti malaysia, singapura atau australia yang memiliki layanan kesehatan jauh lebih baik.
Perlu juga teman-teman tahu bahwa minimnya APBN negara kita yang dialokasikan bagi pembangunan kesehatan sangatlah minim hanya sekitar 2,5% dari total APBN kita. Belum lagi harga obat-obatan dan alat kesehatan yang sangat tinggi (mahal) dikarenankan pajak dan bea masuk barang-barang tersebut ke dalam negeri sangat tinggi bahkan hampir setara dengan pajak barang mewah membuat banyak rumah sakit kesulitan untuk menyediakannya.
Selain itu Masalah lain terkait pelayanan BPJS juga masih harus bnyak diperbaiki dan ditingkatkan. Pertama  terbatasnya rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS sehingga bisa kita lihat banyak antrian disana-sini mulai dari pendaftaran hingga pelayanan. Masih banyak aturan-aturan yang dibuat oleh BPJS yang dirasa kurang adil bagi pelaku (orang-orang) yang berkecimpung di dunia kesehatan itu sendiri. Selain itu besarnya tarif yang ditetapkan kadang tidak sesuai dengan besarnya biaya perawatan yang harusnya didapat oleh pasien tersebut. Sehingga seolah-olah dokter dan rumah sakit hareus benar-benar memutar otak supaya pasien ini dapat sembuh / dilayani sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan dan akan dibayar oleh BPJS.
Itulah sekelumit persoalan kesehatan di negara kita yang mungkin belum banyak orang tahu. Semoga bagi pembaca dengan sedikit info dari saya ini dapat lebih sedikit terbuka dan bijaksana dalam menanggapi berita negatif seputar dunia kesehatan kita. Terlebih tidak cepat terpancing emosi dan ikut-ikutan menyebarkan berita negatif yang belum tentu benar sesuai dengan kondisi dilapangan.
salam sehat,
dr. Wahyu Triasmara
sumber kompasiana

1 comment: