Kegagalan, apalagi jika kegagalan itu
adalah keterpurukan hingga di titik terbawah, sering kali kita sikapi
sebagai malapetaka, sebagai akhir segalanya. Keterpurukan di titik nol
sering kali menjadikan kita ciut hati, undermotivated, dan
berat memulai lagi dari bawah. Akibatnya, keterpurukan menjadikan kita
makin terpuruk. Kita kian terjebak dalam pusaran keterpurukan.
Tapi kenapa kita tidak berpikir sebaliknya? Kenapa kita tidak menjadikan posisi terpuruk di titik nol sebagai sebuah energi luar biasa untuk bangkit? Kenapa kita tidak menjadikan keterpurukan di titik nol sebagai sinyal bahwa kita harus membangun sense of crisis, sinyal untuk mengetatkan ikat pinggang? Kenapa keterpurukan di titik nol tidak menjadikan kita ringan melenggang menggapai capaian-capaian luar biasa di depan? Kenapa keterpurukan di titik nol tidak kita jadikan momentum untuk change the world?
Saya melihat keterpurukan di titik nol adalah “harta karun” bagi kesuksesan kita karena ia menyimpan begitu banyak pelajaran, keutamaan, dan wisdom luar biasa. Karena itu, bahkan ketika kita tidak sedang terpuruk, kita harus menciptakan mindset keterpurukan di titik nol agar kita tidak pongah, tidak sombong, tidak sok tahu, tidak malas, tidak terjebak di zona nyaman.
Belajar dari Steve Jobs
Bicara mengenai keterpurukan di titik nol, role model saya adalah Steve Jobs. Banyak orang mengagumi Steve karena kepiawaiannya mencipta inovasi hebat: Mac, iPod, iPhone, iPad. Saya justru mengagumi dia karena kemampuannya bangkit dari keterpurukan di titik nol.
Saya adalah Steve Jobs fans. Dari sekian banyak pelajaran hidup yang bisa kita ambil dari dia, ada satu yang sangat memengaruhi saya. Bagi saya Steve adalah the real hero. Seorang the real hero tak hanya mengecap kesuksesan semata. Ia juga pernah gagal, bahkan kegagalan di titik terbawah dan terpuruk. Namun di tengah keterpurukan di titik nol, the real hero bisa bangkit lagi dan menuai kejayaannya kembali.
Steve mengalami kegagalan fatal saat dia dipecat dari Apple oleh CEO-nya waktu itu, John Sculley. Pemecatan ini menyakitkan karena justru Steve-lah yang merekrut dan membawa masuk John Sculley untuk mengurusi pemasaran Macintosh. Seperti kita tahu, sepeninggal Steve waktu itu, nasib Apple menjadi makin runyam.
Menjadi Pemula
Apa komentar Steve mengenai pemecatan yang menyakitkan tersebut? “...getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.”
Hebatnya Steve, ia tidak menyikapi pemecatannya secara negatif dan pesimistis sebagai sebuah kekalahan dan akhir segalanya, tapi justru sebaliknya, membebaskannya memasuki masa-masa terkreatif dan terproduktif dalam perjalanan hidupnya.
Yang menarik, memulai kembali di titik nol justru menjadikan Steve punya energi luar biasa untuk berkreasi yang kita tahu akhirnya mengantarkannya untuk mencipta produk-produk paling kreatif dalam sejarah umat manusia: iPod, iPhone, iPad. Kondisi serba keterbatasan di titik nol ini justru memberikan spirit luar biasa untuk merengkuh kesuksesan.
Yang paling saya suka adalah pernyataan Steve bahwa kondisi di titik nol menjadikannya ringan melangkah sebagai seorang pemula. Ya, karena ketika Anda berada di puncak kesuksesan maka setiap langkah Anda akan disorot orang lain, sehingga kita merasakan beratnya langkah kita. Sebaliknya, ketika kita terpuruk di titik nol, maka kita tidak lagi dianggap, kita tidak lagi diperhitungkan orang lain. Karena tidak diperhitungkan, maka langkah kita jadi ringan, plong melakukan dan berkreasi apa pun.
Yang juga saya suka dari pernyataan Steve adalah bahwa kondisi di titik nol menciptakan ketidakpastian dan ketidakmenentuan. Ketidakpastian dan ketidakmenentuan menjadikannya berpikir 1000% lebih keras, bekerja 1000% lebih keras, berkreasi 1000% lebih keras. Ketidakpastian dan ketidakmenentuan menjadikannya keluar dari zona nyaman. Kalau meminjam kata-kata Andy Grove pendiri Intel, ketidakpastian dan ketidakmenentuan menjadikan kita paranoid. Dan kata dia, “Only the paranoid survive!!!”
Musuh Kesuksesan
Musuh kesuksesan adalah kesuksesan itu sendiri. Itulah pelajaran yang kita petik dari keterpurukan Nokia. Kesuksesan memang menciptakan kondisi enak, nyaman, dipuja-puji, disanjung-sanjung, ditiru-tiru, dijadikan role model, dianggap paling hebat. Kondisi serbaenak dan nyaman ini sering kali menjadikan kita lupa. Kondisi paling parah adalah kalau kesuksesan menjadikan kita malas berpikir keras, malas bekerja keras, malas berkreasi keras, malas belajar keras. Ketika itu terjadi maka kiamat di depan mata.
Karena itu, justru ketika kita sedang merayap ke atas mendaki kesuksesan; mindset berpikir kita harus berjalan ke arah yang sebaliknya, merayap menuju ke posisi keterpurukan di titik nol. Itu artinya, saat kita sudah menggapai di titik terpuncak kesuksesan, saat itu juga mindset berpikir kita harus sudah ada di posisi keterpurukan di titik nol.
Mindset keterpurukan di titik nol adalah harta karun kita untuk mencapai sukses berkesinambungan. Ia memberikan pelajaran, kebajikan, dan wisdom luar biasa. Ia membantu kita keluar dari penyakit kronis kemapanan.
“Life begins at the end of comfort zone.”
sumber andriewongso
No comments:
Post a Comment