Menjadi kaya dan mampu memenuhi semua kebutuhan finansial tanpa kesusahan jadi harapan mayoritas manusia di dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Maka tak heran, pekerjaan bergaji tinggi serta ide tentang bagaimana cara membangun kerajaan bisnis sendiri sangat digemari di negeri ini.
Banyak orang lupa, menjadi kaya bukan sekedar soal pekerjaan kantoran
atau seberapa banyak bisnis yang dijalankan. Pengaturan dan
pengendalian uang, jadi kunci yang tak kalah penting bagi tercapainya
sebuah kemapanan finansial. Nah, kali ini akan dipaparkan rahasia mengatur uang yang dianut oleh etnis Tionghoa.
Artikel ini sama sekali tidak bertujuan mengatakan sebuah etnis lebih
baik dari yang lain, ya. Tidak ada yang salah ‘kan dengan membuka diri
untuk mempelajari hal-hal bermanfaat dari mereka yang sudah terbukti
berhasil melakukannya?
1. Dalam Kepercayaan Konghucu yang Dianut Orang Tionghoa, Menjadi Hemat Adalah Sebuah Kebajikan
Menghargai uang dan berusaha selalu hemat tidak bisa dilepaskan dari
nilai kepercayaan Konghucu yang banyak dipeluk oleh masyarakat
Tiongkok. Dari The 8 Virtues (8 Nilai Kebajikan) yang dianut
oleh pemeluk Konghucu di Tiongkok, nilai “Berbakti Pada Orang Tua” dan
“Menjaga Integritas” sangat dekat dengan nilai hemat yang membuat
masyarakat Tiongkok mampu mengatur uang yang dimilikinya
Definisi “Berbakti Pada Orang Tua (Filial Piety) adalah
bagaimana seseorang bisa menjaga sumber daya yang dimiliki keluarga
demi kepentingan masa depan. Haram hukumnya seorang anak membelanjakan
harta keluarganya secara berlebihan. Jika ia belum mampu memberikan
sesuatu untuk keluarga, maka jalan terbaik yang bisa ia tempuh adalah
dengan tidak menghamburkan harta kedua orang tuanya.
Nilai hemat juga sangat dekat dengan nilai “Menjaga Integritas” (Honour)
dalam kepercayaan Konghucu. Sesuatu yang tidak menjadi hak pribadi sama
sekali tak boleh diambil. Bahkan, meskipun suatu hal sudah menjadi hak
pribadi, seseorang perlu menggunakannya dengan hemat dan hati-hati. Agar
tidak memberikan dampak buruk bagi orang lain di sekitarnya.
Di Tiongkok, negara tempat kepercayaan Konghucu berkembang — sifat
dan sikap hemat bahkan tercermin dalam pengeluaran negaranya. Masyarakat
Tiongkok tercatat hanya menggunakan 34% dari total GDP-nya sepanjang
2009-2013. Bandingkan dengan Indonesia yang tercatat menggunakan 59%
dari total GDP yang dimiliki.
2. Sebisa Mungkin, Uang Simpanan Akan Selalu Disisihkan
Nilai hemat juga tercermin dalam kebiasaan menabung orang Tionghoa.
Berbeda dengan negara lain di dunia,Tiongkok, negara tempat kebanyakan
etnis Tionghoa berasal — memiliki tingkat rerata menabung sebesar 51%
dibandingkan jumlah pendapatan negaranya.
Angka ini sangat jauh lebih besar, jika dibandingkan dengan Indonesia
yang tingkat menabung masyarakatnya hanya 31% dibanding GNP dan Amerika
yang memiliki tingkat menabung 17% dibanding GNP.
“Aku melihat saudara-saudara Tionghoa-ku menabung 50-60% dari total penghasilan mereka. Dan aku pun merasa tidak ada masalah menyisihkan uang sebanyak itu untuk disimpan.”
Xin Lu, Kontributor Laman WiseBread
Tidak hanya cerdik mengatur uang, kultur Tionghoa yang menjunjung
tinggi penghematan juga membuat mereka cerdik dalam memilih bank. Bank
yang dipilih tidak hanya harus menawarkan kemudahan, tapi juga harus
membawa keuntungan. Suku bunga yang kompetitif, rendahnya biaya
administrasi, hingga beragamnya jenis layanan jadi hal yang jadi
pertimbangan.
Apakah sampai hari ini kamu masih sering bingung bagaimana mengatur
siasat agar bisa menyisihkan uang untuk ditabung setiap bulannya? CekAja
pernah melansir artikel “4 Cara Sisihkan Gaji untuk Ditabung”yang bisa membantumu.
3. Membayar Dengan Kontan Akan Selalu Jadi Pilihan, Jika Tidak Pun Penggunaan Kartu Kredit Harus Melewati Banyak Pertimbangan
Berhutang bukanlah hal yang wajar dilakukan oleh orang-orang yang
datang dari etnis Tionghoa. Keengganan untuk berhutang ini tidak bisa
begitu saja dilepaskan dari praktik penetapan suku bunga hutang yang
sangat “longgar” oleh pemerintah Tiongkok. Bukan berarti di negeri
Tiongkok sana bunga hutang rendah ya, justru pemerintah bisa dengan
seenak hati menaikkan atau menurunkan suku bunga pinjaman sesuai situasi
ekonomi.
Kondisi ini membuat mereka yang datang dari latar belakang etnis Tionghoa insecure terhadap
kondisi pinjaman mereka. Bisa-bisa saat kondisi ekonomi memburuk, suku
bungan pinjaman ikut melonjak. Sebab itu, sebisa mungkin mereka akan
berusaha untuk selalu membayar kontan dalam tiap kesempatan.
Jika pun harus membayar menggunakan kartu kredit, kerugian dan
manfaatnya akan selalu ditimbang matang-matang. Jangan sampai “hutang”
yang tercipta karena penggunaan kartu kredit gagal membawa keuntungan.
Biasanya, pengeluaran terencana seperti belanja bulanan dan membayar
berbagai cicilan yang sudah jelas jumlahnya lah yang boleh dibayar
dengan kartu kredit. Hal ini mereka lakukan demi menghindari
pembengkakan tagihan yang menyebabkan tunggakan pembayaran. Selengkapnya
tentang “Memilih Kapan Harus Membayar Tunai dan Kapan Harus Membayar Lewat Kartu Kredit” bisa kamu temukan di artikel CekAja ini.
4. Bagi Etnis Tionghoa, Menawar Harga Adalah Hal yang Biasa
Mencari harga terbaik akan terus diupayakan jika ada kesempatan. Di
Tiongkok sendiri, kebiasaan menawar sudah bukan jadi hal yang aneh untuk
dilakukan. Bahkan, jika kamu membaca tips dan trik untuk melancong ke
Tiongkok kebanyakan travel guide akan menyarankan kamu menawar harga hingga 50-75% dari penawaran awalnya.
Di Indonesia, kebiasaan tawar-menawar etnis Tionghoa juga bisa kamu
temukan dengan mudah. Di Pasar Elektronik Glodok, misalnya. Pun di
daerah Pecinan lainnya. Kebiasaan dan budaya yang satu ini tidak hanya
membuat mereka bisa menemukan harga termurah, tawar-menawar juga bisa
memberikan tingkat harga yang fair bagi kedua belah pihak yang terlibat kegiatan jual beli.
5. Gaji dan Penghasilan Bukanlah Privasi yang Harus Ditutup-Tutupi
Bagi beberapa orang, membicarakan gaji dan pendapatan adalah hal
sensitif yang sebisa mungkin harus dihindari. Namun tidak begitu dengan
kebiasaan yang terjadi di lingkungan etnis Tionghoa. Gaji dan pendapatan
bukanlah privasi yang harus disimpan dan ditutupi. Saat mereka ditanya
berapa gaji dan pendapatan lainnya, jangan kaget kalau mereka akan
ringan menjawabnya.
Dalam kultur Tionghoa, menanyakan gaji dan pendapatan adalah salah
satu bentuk cara mengenal antara satu sama lain. Dengan mengetahui gaji
dan pendapatan seseorang, kita akan tahu gaya hidup dan pilihan ekonomi
yang akan diambilnya. Hal ini dipercaya dapat menghindarkan pemberian
perlakuan yang salah pada orang lain, terbukanya etnis Tionghoa soal
pendapatan juga diyakini bisa jadi solusi agar mereka lebih mudah untuk
saling membantu.
“Ayahku pernah membantu menyelamatkan saham kawannya hingga 20%, karena ia tahu berapa penghasilan si teman. Jika mereka tidak saling terbuka soal penghasilan, hal ini tidak akan bisa dilakukan.”
6. Dalam Setiap Perayaan, Uang Adalah Kado Terbaik yang Bisa Diberikan
Etnis Tionghoa memiliki kebiasaan unik untuk memberikan uang sebagai
bingkisan dalam berbagai perayaan penting. Pernikahan kerabat, kasih angpau berisi uang. Saat ulang tahun pun tidak sedikit mereka yang beretnis Tionghoa menerima kado berupa uang tunai, bukan bingkisan.
Yang cerdik dari kebiasaan pemberian bingkisan semacam ini adalah, si
penerima dapat menggunakannya sesuai kebutuhan. Uang yang tidak
digunakan juga bisa disimpan atau digunakan untuk membeli instrumen
investasi yang menguntungkan. Tentu ceritanya akan jauh berbeda jika
bukan uang yang diberikan sebagai hadiah.
Kamu ingin mengikuti kebiasaan unik ini, menyimpan uangnya demi
investasi yang ingin diikuti? Masih bimbang memilih instrumen investasi
apa? Fitur Perbandingan Instrumen Investasi Deposito yang ditawarkan oleh CekAja akan layak untuk kamu coba.
7. Manajemen Uangnya Handal, Kerja Keras Juga Tidak Dilupakan
Kegagalan jadi bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah proses
menuju kesuksesan. Untuk menghadapi kegagalan dengan gagah berani,
dibutuhkan optimisme dan kerja keras tingkat tinggi. Inilah yang selalu
dimiliki oleh mereka yang beretnis Tionghoa. Dan terlepas dari apapun
latar belakang etnismu, kamu pun pasti bisa melakukannya.
Mereka tidak pernah mengeluh pada kebijakan pemerintah yang menyulitkan. Saat orang lain merasa nggak mungkin bisa, orang-orang ini akan gigih berkata: “Aku pasti bisa!”. Gak percaya? Jack Ma, Li Ka Shing, Wu-Shi Hong
— semua mencapai kesuksesan mereka lewat jalan yang dianggap orang
tidak masuk akal. Namun keyakinan dan determinasi mereka membuat semua
yang tidak mungkin menjadi mungkin teraih tangan.
sumber hipwee
No comments:
Post a Comment