Friday, 10 October 2014

Menaklukan Skizofrenia dan Hidup Mandiri

 
Gangguan kejiwaan skizofrenia merupakan suatu penyakit jiwa berat yang membuat penderitanya kerap diabaikan. Padahal, dengan penanganan yang tepat pasien bisa hidup mandiri dan aktif di tengah masyarakat.

Orang dengan skizofrenia (ODS) memang sebagian besar tidak diobati sehingga mereka tidak produktif, dianggap sebagai aib keluarga, bahkan banyak yang dipasung dan berkeliaran di jalan-jalan. Masyarakat awam menyebutnya "orang gila".


Namun gambaran tersebut sama sekali tak terlihat saat berbincang dengan Poltak Tua Dorens Ambarita (32), S.Si, MSc. Ia tampil necis dengan setelan jas. Kacamata yang bertengger di hidungnya memberikan kesan ia pria yang cerdas.

Poltak memang lulus cum laude dari jurusan kimia ITB. Ia lalu mendapat beasiswa untuk melanjutkan studinya di jurusan teknik industri, juga di ITB, pada tahun 2012.

Pria yang menderita skizofrenia ini hidup produktif dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil di sebuah kementrian. "Sebagai PNS saya terbuka pada atasan tentang penyakit saya dan mereka sangat peduli," ujar Poltak.

Pria berdarah Batak ini mulai merasakan gejala-gejala skizofrenia di tahun 2005 ketika ia sering mendapat penglihatan pemberkatan pernikahannya dengan seorang wanita terkenal. Ia juga kerap mendengar suara-suara yang awalnya dianggapnya sebagai wahyu Tuhan.

"Suara itu terus mengatakan bahwa saya akan menjadi pemimpin negara," katanya saat ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.

Karena terus menerus memikirkan "wahyu" tersebut, Poltak jadi menarik diri dari lingkungannya. Perilakunya yang "aneh" itu membuat keluarganya membawanya ke paranormal bahkan minta didoakan pendeta. Kegagalannya dalam mencari pekerjaan memperparah penyakitnya.

"Teman-teman di ITB yang kasihan melihat saya lalu memasukkan saya ke rumah sakit jiwa di Bandung. Setelah itu selama 6 bulan saya rutin minum obat dan pulang ke Medan. Di sana saya menjadi guru kimia," katanya.

Pada sekitar tahun 2006 penyakitnya kambuh lagi. Tapi ia mengatasinya dengan mengontrol emosinya sendiri. Dua tahun kemudian ia kembali masuk ke RSJ selama dua bulan.

"Saya justru tahu penyakit saya ini skizofrenia setelah browsing di internet dan bergabung dengan komunitas peduli skizofrenia. Kini saya tak peduli lagi dengan suara-suara tersebut dan berusaha patuh pada pengobatan," ujarnya.

Deteksi dini

Kata skizofrenia berakar dari bahasa Yunani, schizein (terbelah) dan phren- (pikiran). Penderitanya akan memiliki kesulitan memproses pikirannya sehingga timbulah halusinasi, delusi, pikiran yang tidak jelas dan tingkah laku atau bicara yang tidak wajar.

Di Indonesia, skizofrenia termasuk gangguan jiwa berat yang terbanyak penderitanya. Data Riskesdas 2013 menunjukkan, prevalensi penyakit ini mencapai 1-2 orang dari 1000 penduduk.

Gejala-gejala halusinasi atau delusi tersebut dikenal sebagai psikotik yang menyebabkan penderitanya sulit berinteraksi dengan orang lain, bahkan menarik diri dari dunia luar. Karena kurang dipahami, pemahaman masyarakat terhadap penyakit ini menjadi keliru.

Pada hari kesehatan jiwa sedunia yang jatuh pada 10 Oktober, tahun ini tema yang diangkat adalah "Living with Schizophrenia" yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian pentingnya terapi dini. Masyarakat juga diajak untuk memberi dukungan dan menerima ODS kembali aktif di tengah masyarakat.

Untuk meningkatkan pemahaman tentang skizofrenia, PDSKJI, Komunitas Peduli Skizofrenia dan Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia, mengadakan kampanye Lighting the Hope with Schizophrenia.

Menurut Dr.A.A. Ayu Agung Kusumawardhani, Sp.KJ(K), skizofrenia sebenarnya bisa diobati tapi lebih banyak yang tidak terdignosa. "Gangguannya bersumber di otak, tapi banyak pasien skizofrenia yang dianggap kena guna-guna, kutukan, atau santet," katanya dalam acara pembukaan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2014 beberapa waktu lalu.

Pemahaman yang keliru ini membuat pasien sering terlambat dibawa ke dokter. Ironisnya, pasien bukannya pulih malah tambah sakit.

"Kalau tidak diobati dini, penyakitnya akan berdampak panjang karena problem di otak lebih berat," ujar dokter yang menjadi Ketua Seksi Skizofrenia Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) ini.

Siti Anisah (42) beruntung karena sejak awal ia menunjukkan gejala-gejala skizofrenia di tahun 1992, keluarganya langsung membawanya ke dokter. Ketika itu ia masih kuliah semester 3 di Universitas Andalas, Padang.

"Di semester 3 itu saya stres berat karena punya target lulus cum laude. Tapi akibatnya saya malah stres dan menolak ujian karena takut nilainya jelek. Saya hanya mengurung diri di kamar berhari-hari dan takut ke kampus," kata wanita yang sekarang tinggal di Bekasi ini.

Keluarganya yang tinggal di Jakarta lalu menyuruhnya kembali ke Jakarta dan berobat ke psikiater. "Saat itu saya sudah mengalami halusinasi, setiap melihat orang seolah-olah giginya bertaring. Saya juga sering mendengar suara-suara," ujarnya.

Oleh psikiater di Jakarta ia lalu diberi resep obat-obatan. Namun karena tidak paham pentingnya pengobatan tersebut, obat itu tak diminumnya. Akibatnya, penyakitnya kambuh dan lebih buruk dari sebelumnya.

"Saya jadi paranoid dengan lingkungan. Tak berani ke mana-mana karena merasa ada orang yang mau membunuh saya," kata ibu satu anak ini.

Keluarganya lalu memasukannya ke rumah sakit jiwa di Yogyakarta. Keluar dari sana, ia patuh mengonsumsi obat yang diberikan dokter sehingga bisa beraktivitas di tengah masyarakat. Ia pernah menjajal profesi sebagai tim sales asuransi dan tenaga administrasi.

Siti kini aktif mengajar di beberapa tempat les bimbingan belajar. Ia juga berencana untuk membuka usaha sendiri. "Saya sedang mengumpulkan biaya untuk kuliah anak saya," katanya.

Terapi

Meski belum ada terapi yang bisa menyembuhkan skizofrenia, tapi kekambuhan penyakit ini dapat dicegah dan dikendalikan. Apalagi jika dilakukan saat penyakit ini masih pada tahap awal seperti yang dialami Siti.

Terapi skizofrenia biasanya merupakan kombinasi antara pengobatan dan psikoterapi. Pengobatan untuk menurunkan gejala, dan psikoterapi akan membantu pasien memahami dan menerima penyakitnya. "Dengan begitu mereka jadi paham mengapa harus minum obat terus," kata Ratih Ibrahim, psikolog klinis dalam acara yang sama.

Menurut National Alliance for the Mentally Ill AS, tingkat keberhasilan pengobatan skizofrenia saat ini adalah sekitar 60 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pasien penyakit jantung yang hanya 41-52 persen. Sayangnya Indonesia masih menghadapi tantangan dalam hal akses pengobatan.

"Memang ada kesenjangan layanan, saat ini baru RS Jiwa atau RS pendidikan yang bisa melayani pasien gangguan jiwa. Sehingga banyak pasien yang terlambat mendapat pertolongan, terutama dari daerah terpencil," kata Dr.Eka Viora, Sp.KJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kemenkes.

Namun menurut dr.Eka dengan disahkannya UU No.18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, orang dengan masalah kesehatan mental dijamin negara. "Pemerintah juga bertanggung jawab untuk meningkatkan mutu fasilitas rujukan bagi pasien," imbuhnya.

Ratih menambahkan, peran keluarga dan dukungan lingkungan sangat penting untuk mendukung kesembuhan. "Pasien mungkin merasa dirinya baik-baik saja sehingga tak mau minum obat. Tapi orang lain dan keluarga yang melihat tahu ada sesuatu yang tidak sinkron. Jadi penting untuk mengingatkan," katanya.

Karena skizofrenia adalah penyakit kronis, maka terapinya pun juga bersifat jangka panjang. "Keluarga butuh untuk paham dan bisa menerima pasien dengan baik sehingga perlakuannya pun jadi manusiawi," imbuhnya.

Dengan kondisi terkontrol, mereka yang sudah pulih bisa produktif dan berkarya.
sumber kompas

No comments:

Post a Comment