Wednesday 7 January 2015

Fokus dan Gigih Kunci Sukses Jeremy Irons

Salah satu kunci sukses yang banyak diajarkan adalah fokus dan gigih. Di antara yang menerapkannya adalah aktor kawakan Hollywood asal Inggris, Jeremy Irons. Ia tak neko-neko saat sejumlah peluang datang kepadanya. Baginya memerankan sebuah film adalah proses pembelajaran hidup.

“Saya hanya mau menerima peran ketika saya ingin menonton film yang saya perankan,” katanya. Jika ia menilai peran yang ditawarkan itu tak menimbulkan keinginan menontonnya, ia tak akan menerimanya. Dalam film-filmnya, Irons tak hanya berperan sebagai orang baik-baik. Ia pernah memerankan tokoh antagonis. Meski begitu, tak berarti ia tengah belajar untuk jadi penjahat. “Saya ingin belajar apa sebabnya seseorang melakukan itu (jadi penjahat),” ujarnya. Dengan prinsip ini ia tetap bijak menjalani hidup.

Irons, aktor kelahiran Cowes, Isle of Wight, Inggris, 19 September 1948, tak hanya berperan di film besar. Ia bahkan masih betah bermain di panggung teater, suatu sikap yang menunjukkan bahwa ia gigih mempertahankan nilai keaktorannya. Tak heran ia pun menjadi salah satu aktor Inggris yang berprestasi besar di dunia. Ia menerima sejumlah penghargaan seperti Golden Globe Award dan Emmy Award tahun 2005. Bahkan sejumlah lembaga pun memintanya menjadi duta. Misalnya, ia pernah dinominasikan untuk menjadi Goodwill Ambassador untuk Food and Agriculture Organization (FAO).

Bulan November 2013, untuk pertama kalinya Irons datang ke Jakarta. Ia tiba dengan membawa misi mempromosikan film terbarunya yang beda dari yang lain. Jika sebelumnya ia berperan dalam film-film fiksi, di film ini ia memerankan dirinya sendiri sebagai seseorang yang peduli pada sampah. Film berjudul Trashed ini memang merupakan film dokumenter tentang dunia yang dipenuhi sampah.

Untuk membuat film tersebut, Irons datang ke sejumlah negara seperti Vietnam, Inggris, Islandia, dan Amerika Selatan. Meski tak datang ke Indonesia saat pembuatannya, ketika film tersebut selesai Irons mengunjungi Jakarta dan mempromosikannya. Ia mengaku tak hendak menggurui siapa pun dengan film tersebut. Irons bahkan mengaku justru belajar dari banyak pihak dalam pembuatannya. Tentu saja, tak serta-merta ia jadi begitu peduli sampah sejak membuat film ini. Tetapi konsep hidupnya tentang sampah sebenarnya sudah ada sejak lama. Terlibat dalam film Trashed membuatnya makin peduli bahwa jika tak ada perubahan sikap pada manusia, dunia akan penuh dengan sampah.

Saat ini ia begitu hati-hati saat akan makan. Ia tak sembarangan makan daging karena menurutnya daging yang beredar di kota itu tidak jelas asal-usulnya. Belum tentu menyehatkan tubuh. Bahkan saat ia pergi ke perkampungan di negaranya, ketika disuguhi daging ia bertanya di mana ternak itu dibesarkan agar ia yakin bahwa ternak itu dibesarkan dengan sistem peternakan yang benar.

Daripada mengambil risiko, ia malah memilih jadi vegetarian. Tetapi tetap penuh dengan kehati-hatian. Saat membeli apel, misalnya, ia memilih mengambil buahnya saja kalau buah itu dikemas dalam plastik dan plastiknya ditinggal di kasir. “Biar mereka yang mengurus (sampah plastiknya),” ujarnya. Di rumahnya, Irons memiliki tiga jenis tempat sampah: tempat sampah organik, plastik, dan logam. Ternyata yang logam lebih cepat penuh, katanya. Ia membayangkan, mungkin seperti itu juga terjadi pada orang lain sehingga sampah logam yang berbahaya makin menggunung di bumi. Maka melalui film Trashed, Irons ingin mengajak warga dunia untuk lebih bijak membuat sampah. Misalnya, ia sebagai seorang aktor, lebih hemat dan cermat dalam belanja pakaian. Sehingga baju-baju yang ia beli, awet dipakai.

Terlambat Terjun ke Dunia Film

Irons lahir dari pasangan Paul Dugan Irons seorang akuntan dan ibunya, Barbara Anne Brereton Brymer, seorang ibu rumah tangga. Ia sekolah di Sherborne School di Dorset. Hobinya adalah bermain musik di mana ia membentuk band di sekolahnya. Ia menjadi pemain drum dan harmonika. Keterlibatannya dalam dunia teater terjadi saat belajar drama di Bristol Old Vic Theatre School. Sejak itu ia beberapa kali tampil di sejumlah panggung. Ia kemudian makin aktif di teater setelah lulus sekolah. Hingga tahun 1971 ia telah tampil di panggung teater sebanyak lebih dari 1.000 kali.

Tahun 1974, ia mulai merambah drama televisi saat bermain di BBC. Namun terjun ke dunia film boleh dibilang terlambat. Ia baru bermain film tahun 1980 dalam film Nijinsky. Sejak saat itulah dunia film ia tekuni hingga puluhan film pernah dibintanginya. Sejumlah film populernya antara lain The Lion King (1994), Die Hard with a Vengeance (1995), Lolita (1997), The Man in the Iron Mask (1998), The Merchant of Venice (2004), Being Julia (2004), Kingdom of Heaven (2005), Eragon (2006), Appaloosa (2008), dan Margin Call (2011). Rencananya, Irons juga akan berperan butler Alfred Pennyworth sebagai dalam Batman v Superman: Dawn of Justice (2016).

“Aktor seringkali seperti anak-anak, kita dibawa ke masa anak-anak yang ingin tumbuh (menjadi seseorang),” ujarnya. Pernah ia mengatakan, bahwa dirinya cemburu pada anak-anak yang bisa dengan berani mengatakan ingin jadi dokter dan sebagainya sementara ia mengalir begitu saja. “Memilih itu perkara sulit. Tapi saya berikan kebebasan pada anak-anak saya untuk memilih sendiri mereka mau jadi apa. Tetapi saya tekankan bahwa mereka bisa jadi apa pun yang mereka mau,” ujar ayah dua anak ini.
sumber andriewongso

No comments:

Post a Comment