Setelah lama menghabiskan waktu di kantor dan
memberikan fokus yang besar pada pekerjaan, mengambil cuti biasanya
menjadi pilihan para pegawai guna memulihkan semangat kerja yang mulai
kendur.
Uniknya, di Amerika Serikat (AS) para pegawai justru merasa takut dan cemas jika ingin meminta cuti pada perusahaan.
Bahkan mengutip laman Forbes, Selasa (26/8/2014), studi GFK
Public Affairs and Communication menunjukkan banyak pegawai yang merasa
sang atasan tidak benar-benar menyetujui dirinya untuk cuti. Maklum,
meski sedang cuti, banyak atasan yang masih membebankan pekerjaan
padanya.
Lebih parah dari itu, banyak pegawai yang justru tak banyak diberi
pekerjaan setelah mengambil cuti. Padahal, dengan mengambil waktu cuti,
para pegawai dapat beristirahat dan berlibur guna memulihkan kembali
semangat kerja.
Berbeda dengan negara-negara di Eropa dan kawasan lainnya yang
memiliki sejumlah proteksi hukum pada pegawai, AS justru tidak
menyediakan peraturan yang spesifik bagi pegawai. Artinya, semua
keputusan mengenai aturan dan pola kerja di kantor sangat tergantung
pada atasan.
Para atasan dapat memecat pegawainya kapanpun dia mau. Bahkan jika
ada kekacauan saat sedang cuti, para atasan dapat marah dan mengambil
keputusan pemecatan. Keputusan itu justru dianggap positif dan dapat
mengurangi jumlah anggaran perusahaan.
Tak heran, hasil survei Glassdoor menunjukkan setengah dari pegawai
di AS tidak menggunakan kesempatan cutinya. Padahal izin cutinya sudah
dikeluarkan atasan. Sementara itu, sebanyak 15 persen memilih untuk
tidak mengambil cuti sama sekali dan terus bekerja.
Sejauh ini, penelitian tersebut juga menunjukkan tak ada pegawai yang
sanggup bekerja produktif sepanjang tahun. Semakin penting posisi dan
keputusan yang diambilnya, maka semakin banyak hari libur yang
dibutuhkan.
sumber yahoo
No comments:
Post a Comment