Wednesday 15 April 2015

Belajar dari Tjokroaminoto

Film-film lokal mulai bangkit eksistensinya. Setelah beberapa lama kurang memproduksi film berkualitas, di awal tahun 2015, justru para sineas bertalenta mulai berkoar untuk menghasilkan suatu produksi film lokal yang berkualitas.

Beberapa film lokal yang berkisah tentang sejarah, biografi tokoh, dan budaya Indonesia menjadi ‘langganan’ untuk masuk nominasi di penghargaan-penghargaan film internasional seperti Soegija, Soe Hok Gie, Sang Kyai, Habibie & Ainun, Act of Killing dan yang terakhir Soekarno. Film-film ini berani mengisahkan sejarah bangsa, bahkan membuka sebuah lembaran tabu yang selama ini tertutup bagi khalayak ramai. Karena itu, biasanya, begitu karya-karya bertemakan topi sentimental tersebut rilis, akan ada konflik dengan beberapa pihak yang membuat film tersebut menjadi kontroversi.

Padahal film juga merupakan sebuah media untuk sejarah dan budaya bangsa terus dijaga turun-temurun. Para generasi muda yang miskin rasa nasionalisme, hendaknya dapat mulai dibentuk karakternya melalui produksi film –film tersebut. Di awal tahun 2015, film Guru Bangsa Tjokroaminoto diharapkan dapat ikut serta dalam menanamkan nasionalisme bangsa kepada para penonton yang menjadi target, yaitu generasi muda. Film ini adalah sebuah film biopik yang mengisahkan tentang perjuangan seorang Tjokroaminoto yang menentang kebijakan-kebijakan Hindia-Belanda untuk memonopoli dan merugikan rakyat Indonesia. Melalui organisasi Sarekat Islam yang dikoordinirnya bersama para sahabat, Tjokroaminoto berhasil menyatukan kekuatan para rakyat dari segala penjuru tanah air untuk menuntut hak-hak bangsa terhadap penguasa saat itu.

Film ini juga sedikit menceritakan berbagai peristiwa yang sensitif seperti kerusuhan yang terjadi di Solo tahun 1912 yang menargetkan kaum Tionghoa. Hindia-Belanda sengaja mengadu-domba kaum pribumi dan Tionghoa agar tidak bersatu, karena mereka sadar kekuatan yang akan terlahir jika kedua etnis tersebut bersatu.

Dalam film ini juga muncul tokoh Agus Salim, Semaun, bahkan Kusno (nama asli Soekarno) sebagai partner, dan murid-murid Tjokroaminoto. Seluruh alur film diceritakan sesuai dengan yang terjadi menurut saksi mata hidup, maupun dokumen-dokumen sejarah.

Teknik pengambilan gambar dan warna pun disesuaikan dengan yang terjadi pada tahun 1912-an, bahkan, gedung Oranje Hotel yang menjadi tempat bersejarah pun dibangun sebagai setting.

Film yang dibesut oleh Garin Nugroho dan diproduseri oleh Christine Hakim ini memilih  aktor dan aktris berbakat seperti Reza Rahardian sebagai Tjokroaminoto, Christine Hakim, Alex Komang, Didi Petet, dan banyak lagi. “Kami sengaja memilih aktor-aktor yang punya pengalaman di bidang teater untuk lebih memberikan kesan alami dalam film ini, termasuk dari logat juga pembawaannya,” ujar Christine Hakim dalma konferensi pers peluncuran perdana film tersebut.

Diharapkan, dengan diluncurkannya film Guru Bangsa, Tjokroaminoto dapat membuka mata generasi muda untuk mau tahu sejarah bangsa dan mendalami perjuangan para tokoh pahlawan tanah air. Tentunya, dibutuhkan kontribusi dari para pembuat film untuk menyajikan film-film berkualitas yang lebih mendidik kepada generasi muda Indonesia.
sumber andriewongso

No comments:

Post a Comment