Pada sebuah buku berjudul The True Power Of Water,
Masaro Emoto bicara banyak tentang keajaiban air. Air yang didoakan,
air yang dilemparkan kata-kata positif akan berubah molekulnya. Air yang
diminum dengan pengharapan baik akan membuat molekul tubuh yang 70
persen dikuasai oleh air akan berubah. Masaro menangkap apa yang hadir
dan melegenda di masyarakat kita. Tentang air yang banyak digunakan
untuk penyembuhan. Tradisi turun-temurun di banyak desa di negeri kita.
Sebelum Masaro Emoto hadir, di perkampungan dan desa-desa, para dukun sering meminta pasien untuk membawa air. Air kembang tujuh rupa yang akan dijadikan alat untuk mandi. Memandikan diri sendiri, juga memandikan benda-benda lainnya seperti keris atau mobil. Tujuannya hanya satu, bersih dan terhindar dari marabahaya. Air yang dibawa pasien juga ada yang disemburkan dari mulut Sang Dukun ke tubuh pasien. Ada juga air yang diberi jejampian yang akan menjadi kekuatan tersendiri untuk para pasien. Pasien yang memiliki sugesti dan total percaya pada keampuhan Sang Dukun akan merasa lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Air itu bisa diambil dari mana saja. Dari tujuh sumber air yang dipercayai mengandung magnet magis, dari sebuah lubang kecil di tengah lantai rumah yang konon katanya tidak pernah terlihat sumber air, bahkan dari sebatang pohon yang mengucur air secara tiba-tiba.
Logika manusia dibolak-balik oleh air. Air untuk kebanyakan masyarakat kita adalah magis. Mereka yang datang pada dukun-dukun yang tumbuh seperti jamur di musim hujan itu tidak paham apa kata orang pintar yang memang benar-benar pintar. Penyakit mereka harus disembuhkan oleh seseorang yang tumbuh dan dianggap “pintar”. Bukan pintar oleh sekolah karena jerat kemiskinan membuat mereka tidak percaya pada kepintaran produk sekolah. Mereka lebih suka orang pintar yang merakyat dan dapat tersentuh oleh indera mereka. Tidak terlihat tinggi tapi tampak sejajar.
Air sudah menjadi fenomena unik. Ia dibutuhkan, diagungkan, dan diharapkan menjadi satu alat untuk menyembuhkan. Gede Prama bicara lebih banyak lagi tentang air. Air yang memiliki prinsip dan bisa menerobos dua bebatuan yang saling berimpitan, air yang fleksibel mengikuti wadahnya, air yang tak pernah sakit hati dengan tumpukan sampah yang dilempar ke arahnya dan terus mengalir juga air yang mengandung kekuatan besar seperti air laut karena ia ikhlas menampung air dari banyak sumber. Menampung yang kecil untuk menjadi besar.
***
Saya belajar banyak tentang air. Air hujan, air selokan, air sungai, air laut dan air-air yang tergenang.
Air yang tersumbat sampah akan menjadi ikut bau sampah. Air yang curahnya cukup banyak seperti hujan yang masuk ke sebuah genangan akan tertampung sesuai wadah dalam genangan itu. Setiap manusia memiliki kapasitasnya sendiri dalam hidup ini.
Air yang mendidih menciptakan uap, seperti emosi di dalam tubuh yang membuat kepala menjadi terasa pening.
Ketika kecil dulu, tubuh saya pernah terseret di sebuah empang. Empang yang tenang itu berhasil membuat saya terperosok dan hampir tenggelam. Saya tertolong oleh seorang kakek yang rela melompat ke dalam empang untuk menyelamatkan saya. Air bisa menjadi tragedi bila kita lengah, bahkan di air tenang sekali pun. Pelajaran pertama itu saya dapatkan dan endapkan benar-benar ke pikiran.
Air bisa jadi seperti maut yang mencengkeram tiba-tiba. Bahkan seringnya bencana yang dihadirkan oleh air lebih luas ketimbang bencana yang dihadirkan oleh api. Tragedi Situ Gintung (Maret 2009) tidak pernah diperkirakan oleh penduduk sekitarnya. Air waduk itu tenang. Perumahan baru tumbuh di sekelilingnya menjadikan waduk itu sebagai pemandangan yang menyejukkan mata, ternyata mengikis tanah yang menghambat aliran air. Lalu pada tengah malam, raksasa bernama air itu bergejolak. Ketika semua penduduk terlelap dalam mimpi tentang hari esok.
Air yang tenang bisa menjadi marah pada saat kita tak menyadari kemarahannya. Cerita tentang air yang lebih menakutkan adalah ombak. Gelombang dari yang kecil hingga besar menyentuh bibir pantai nyatanya menjadi daya tarik tersendiri. Pesta di bibir pantai, di pinggir jurang yang mengarah pada pemandangan laut, rumah di tepi pantai dengan laut sebagai hamparan halaman selalu menjadi mimpi tersendiri untuk sebagian orang.
Tsunami di Aceh (Desember 2004) adalah amukan terbesar sang ombak di penghujung tahun. Amukan yang tidak disadari karena begitu tiba-tiba datangnya. Ribuan nyawa melayang terkena hempasan ombak.
Ombak adalah air yang menari. Tariannya terkadang menggeliat ringan terkadang menggeliat tanpa aturan. Saya juga penyuka ombak. Melihat ombak seperti melihat kehidupan yang harus selalu kita hadapi. Tidak datar. Tapi terus bergelombang. Semakin besar gelombang, semakin bergejolak hidup kita.
Ombak akan lebih nikmat bila dihadapi. Tidak lari darinya. Mungkin itu yang jadi tantangan para surfer dengan keahlian mereka bercanda dengan ombak.
Ombak dinamis seperti hidup. Dan ombak melangkah maju lalu mundur ke belakang untuk mengambil ancang-ancang menjadi ombak yang lebih besar lagi. Menciptakan buih-buih yang ditinggalkan ketika ia mundur. Buih-buih itu adalah hikmah dari setiap pergerakan mundur untuk dilindas dengan kekuatan ombak yang lebih besar lagi.
***
Ombak yang ditakuti dan melegenda adalah ombak di Pantai Selatan. Cerita mistis tentang orang-orang yang terseret ombak yang dijadikan dayang-dayang oleh Ratu Pantai Selatan itu terus berkumandang hingga detik ini.
Saya bukan orang yang percaya mitos. Pengalaman bersentuhan dengan ombak adalah ketika saya berdiri di pinggir karang Pantai Pelabuhan Ratu. Lalu ombak yang kecil menjadi besar tanpa bisa diprediksi sebelumnya. Ombak itu melebihi tinggi tubuh saya, hingga menyeret saya. Saya diselamatkan oleh karang yang bisa saya raih dengan cepat.
Saya tidak memahami peristiwa itu sebagai peristiwa magis. Tapi peristiwa konyol, karena saya berdiri di tempat yang curam dengan pikiran tidak fokus nyaris kosong.
Air akan menjadi bahaya besar bila kita kosong tanpa kendali. Pelajaran itu saya dapat dan endapkan dalam-dalam di benak saya. Hidup ini sesungguhnya seperti air. Kadang tenang, kadang mengalir mulus, bahkan kadang bergejolak mulai dari kecil menjadi besar seperti hal-nya ombak.
Masalah dalam hidup yang terus dipelihara adalah ombak. Sepanjang hidup masalah itu akan tetap ada. Masalah yang kecil menjadi besar bisa jadi karena kita sendiri sebagai manusia yang terlena dan mengabaikannya ketika masalah itu masih menjadi masalah kecil.
Jangan pernah pelihara masalah kita bila kita tidak ingin diterjang ombak kehidupan.
sumber andriewongso
No comments:
Post a Comment