Dalam kehidupan, sebenarnya kita selalu
ada nilai keberimbangan. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang
sukses, ada yang gagal. Ada yang bahagia, ada yang nestapa. Ada yang
gembira, ada yang sedih penuh air mata. Semua konteks itu setidaknya
pasti pernah kita rasakan. Hanya saja, mungkin kadarnya berbeda-beda.
Namun, kadang-kadang, ada pula saatnya seseorang berada di “lapisan
tengah”. Ada yang mengatakan konteks tersebut dengan sebutan wilayah
abu-abu, yang di antara hitam dan putih. Artinya, sebenarnya semua tak
pernah mutlak. Tergantung pada sudut pandang kita, hendak memaknai apa
kondisi yang kita alami saat ini.
Namun di balik semua predikat dan rasa yang terjadi, sebenarnya jika kita pikirkan lebih mendalam, masing-masing pribadi pasti memiliki paling tidak satu hal yang jadi kekuatan utama. Ada yang menyebutnya sebagai "panggilan hati", ada yang menyebutnya sebagai "kunci sukses", ada yang menyebutnya sebagai "lentera jiwa". Mungkin dalam hidup tak semua orang menemukan hal tersebut. Tapi paling tidak, jika mau menelaah lebih dalam dari sejarah hidup yang dilalui masing-masing orang, hampir pasti tiap orang memilikinya. Apakah wujudnya berupa pengabdian pada apa yang dikerjakan selama ini, apakah prestasi yang dibanggakan, atau sekadar kesenangan menolong orang. Bentuknya bisa berbeda-beda. Bahkan, bisa jadi sebenarnya banyak orang telah menemukannya, tapi belum merasa hal tersebut sebagai bagian terpenting hidupnya.
Itulah barangkali mengapa sampai legenda pendiri Apple Steve Jobs pernah berkata, “Temukan panggilan jiwamu. Jika belum kau temukan, teruslah mencari, karena itu bisa jadi merupakan proses pencarian selamanya.”
Terkait dengan hal tersebut, ada sebuah ungkapan bijak, "jika seseorang tidak melakukan sesuatu dengan baik dan benar, maka orang tersebut sejatinya tak akan mendapatkan apa pun". Jika belum melakukan segala sesuatu sesuai panggilan hati, bisa jadi itu hanya akan jadi kerja yang biasa-biasa saja.
Pada sebuah kerajaan, ada sebuah perlombaan mematung. Pada hari terakhir lomba sebagai puncak penentuan pemenang, ada dua orang pematung sebagai "finalis". Keduanya punya kemampuan yang nyaris setara. Mereka bisa mencapai babak puncak karena memang menghasilkan karya yang paling baik di antara pematung lainnya.
Pada hari puncak itulah, raja akan mengumumkan siapa orang yang dianggap paling indah karyanya. Untuk itu, keduanya diberi waktu satu minggu penuh untuk menghasilkan karya paling baik.
Keduanya lantas berburu batu yang akan diukir menjadi patung indah. Pematung pertama seperti biasa, karena merasa sudah sangat ahli, hanya sembarangan memilih batu. Ia berpikir, kemampuannya mematunglah yang menentukan keindahan patungnya. Sebaliknya, si pematung kedua, bahkan menghabiskan waktu setengah hari lebih lama untuk menemukan batu terbaik yang akan dipahatnya jadi patung indah.
Sampai satu minggu waktu yang ditentukan, keduanya berhasil menciptakan patung yang sekilas sama indahnya. Sang raja pun kebingungan menentukan siapa yang akan jadi pemenang. Namun, setelah melihat lebih detail, sang raja pun memutuskan untuk memberikan predikat pematung terbaik pada pematung kedua. Sebab ternyata, dari patung pertama, batunya ada yang retak sehingga sedikit mengurangi keindahan.
Pematung pertama hanya bisa menyesali keteledorannya sehingga tak bisa jadi pemenang. Tak lama setelah lomba, namanya bahkan segera dilupakan orang. Karena, hanya sang pemenang utama yang namanya terus dielu-elukan.
Kisah tersebut adalah sebuah gambaran, perbedaan sedikit saja, bisa menjadikan pematung pertama jadi golongan “menengah” yang kembali jadi orang biasa. Sedangkan pematung kedua yang jadi pemenang, ia menjadi orang sukses yang namanya selalu dikenang. Semua itu berkat kecintaan dan kepeduliannya untuk memberikan sesuatu yang lebih. Dengan panggilan jiwanya untuk mencari batu terbaik, ia berhasil menjadi orang sukses luar biasa.
Pematung pertama sesuai dengan ungkapan yang saya sebutkan di awal tulisan ini. Keterkenalannya “dikalahkan” oleh keteledorannya karena belum memberikan yang terbaik pada semua aspek yang dijalaninya.
Begitu pula kita. Banyak di antara kita merasa telah melakukan banyak hal. Sudah melakukan tugas yang diberikan. Tapi, tanpa sadar, belum melakukan hal yang maksimal pada bidang yang kita lakoni sesuai panggilan hati. Padahal, jika kita mau sedikit berkorban—bekerja lebih keras, bekerja ekstra, memberikan tenaga lebih banyak, mencurahkan perhatian lebih banyak, memberikan nilai lebih pada yang dikerjakan—hasilnya bisa jadi akan sangat berbeda. Pematung kedua adalah gambaran orang yang kerap saya sebutkan: if better is possible, good is not enough!
Mari, temukan panggilan hati dan lentera jiwa kita masing-masing, pada peran apa pun yang kita jalani saat ini. Dan, berikan nilai lebih pada yang kita curahkan sebagai fokus pekerjaan kita. Niscaya, semangat laksana sang pematung kedua akan menjadikan kita sebagai insan luar biasa yang bisa meraih apa saja dalam kehidupan kita.
sumber andriewongso
No comments:
Post a Comment