Tuesday, 13 October 2015

Faktor Risiko Depresi Pada Anak, Sejak Buaian Sampai Pola Asuh


Faktor genetik dan pola asuh bisa menjadi bagian dari penyebab terjadinya depresi pada anak.

Psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani mengatakan, anak yang lahir dari ibu yang depresi punya kecenderungan mengalami depresi lebih tinggi.

Dia juga menjelaskan, jika depresi sudah tertanam sejak dini pada anak, bukan tidak mungkin tercipta generasi berikutnya yang juga terkena depresi.


Sebab masa anak-anak merupakan fondasi hidup dan ketika depresi terjadi sejak kecil maka hal itu akan berlanjut sampai dewasa dan seterusnya.

"Lebih sering depresi ini akan berlanjut sampai dewasa dan cenderung memiliki keturunan depresi juga," kata Anna.

Tidak hanya kondisi ibu saat mengandung yang bisa memengaruhi bayinya, kondisi tertentu pasca melahirkan juga memengaruhi tingkat depresi anak. Misalnya saja ibu yang mengalami sindroma baby blues.

Sindroma baby blues merupakan gangguan emosi pasca melahirkan yang menyebabkan sang ibu mengalami perasaan gundah gulana. Ibu jadi mudah menangis atau bisa jadi lebih mudah marah.

Nina, sapaan akrab Anna Surti Ariani, mengatakan sindrom baby blues memang normal dialami perempuan setelah melahirkan. Bahkan umumnya sebanyak 80 persen perempuan mengalami baby blues.

Tapi, kata Nina, kondisi ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama. “Tiga bulan setelah melahirkan sindrom baby blues ini sudah harus tuntas.”

Bahkan ada juga sumber yang mengatakan dalam waktu dua minggu, sindrom ini sudah harus hilang. Jika tidak, hubungi dokter.

"Kalau masih mengalami lemas, gundah, dan lain-lain seperti gejala sindrom baby blues, ada kemungkinan depresi pasca melahirkan," ujarnya. Hal ini jika dibiarkan akan memengaruhi kondisi bayi.

Bagi bayi, kata Nina, diasuh oleh ibu yang depresi berarti diasuh dalam lingkungan yang depresif. Kalau sebagian besar anak biasa digendong dan dininabobokan oleh ibunya, ibu yang depresi akan cenderung lebih malas dan membiarkan anaknya begitu saja.

Pada fase berikutnya, ketika anak mulai tumbuh, juga dibutuhkan pola pengasuhan yang benar. Sebab kasus depresi yang kebanyakan terjadi berawal karena pola pengasuhan yang salah.

"Kebanyakan penyebabnya karena pola pengasuhan yang salah, yang diabaikan, atau terlalu dipaksakan, terlalu otoriter. Kadang penyebab depresi pada anak adalah tuntutan terlalu berat dari lingkungannya," ujar Nina.

Misalnya saja si anak tidak terlalu menonjol dalam bidang akademik. Tapi orang tuanya menuntut dia untuk selalu mendapatkan nilai terbaik, 9 atau 10.

"Kalau anaknya enjoy, tidak apa-apa. Tapi kalau anaknya tidak suka, kecapean, memang lebih rentan mengalami depresi," kata Nina.

Anak yang dibebani dengan segudang jadwal les, di luar jadwal sekolahnya juga disinyalir akan lebih mudah terkena depresi. Apalagi jika ia menjalani kegiatan yang tidak benar-benar disukainya.

Cara Mengatasi Depresi

Jika depresi sudah terlanjur terjadi pada anak, ada beberapa cara yang bisa dilakukan orang tua untuk mengembalikan kondisi anak.

Pertama, Nina menganjurkan untuk mengubah rutinitas dan keseharian anak.

"Mereka perlu rutinitas yang lebib ajeg. Pagi bangunnya jam berapa, itu harus rutin pada jam yang sama setiap harinya. Begitu juga dengan waktu makan," ujar lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.

Kata dia, dengan memperbaiki rutinitas anak, ada banyak untung yang bisa diperoleh. Anak cenderung merasa lebih aman dan nyaman, sehingga anak merasa ada sesuatu yang bisa diprediksi dalam hidupnya.

Orang tua juga harus rajin-rajin mengajak anak bermain di luar rumah. Jika anak pecandu gadget atau televisi, sebisa mungkin kurangi intensitas mereka dengan benda-benda tersebut. Sebab, bisa menambah risiko depresi.

"Diajak beraktivitas di luar ruangan dan melakukan banyak kegiatan fisik. Nanti aliran darah semakin lancar. Hormon endorfin juga lebih banyak diproduksi sehingga risiko depresi cenderung berkurang," kata Nina.

Untuk orang tua yang otoriter, harus berubah dan menjadi lebih peka terhadap anaknya. Orang tua harus bisa mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai anak.

Jika sulit memperhatikan, ada baiknya orang tua bertanya pada sang anak apakah mereka menikmati kegiatannya atau tidak.

Cara mendisiplinkan anak pun harus dilakukan dengan cara menyenangkan, bukan seperti paksaan. Nina mencontohkan dengan teknik jam dinding. Teknik ini juga dilakukannya dalam mengajarkan kedisiplinan pada anak.

"Anaknya diajari baca jam dulu, menggunakan jarum menit untuk mengatur waktu," kata Nina memulai penjelasannya.

Cara ini juga bisa dilakukan untuk mendisiplinkan anak dalam kegiatan lain. Misalnya saja makan. Nina mengatakan cara ini lebih menyenangkan daripada harus memaksa anak untuk makan atau mandi sampai mereka harus menangis dulu. 
sumber cnn

No comments:

Post a Comment