Saturday, 5 September 2015

Beda Komitmen dan Minat

Kalau ada sebuah kata atau istilah yang paling sering digunakan orang, tetapi sebenarnya telah banyak sekali mengalami kemerosotan makna, maka kata itu adalah KOMITMEN. Coba perhatikan, berapa banyak komitmen yang telah diikrarkan oleh sepasang kekasih, mitra bisnis, anak buah terhadap atasan dan sebaliknya, para orangtua terhadap anak atau sebaliknya, para wakil rakyat terhadap konstituennya, serta pemerintah kepada rakyatnya, yang seolah hilang lenyap begitu saja ketika situasi mulai berubah? Meski mungkin saja terdapat sejumlah alasan yang benar-benar masuk akal, yang membuat komitmen mereka tidak terpenuhi. Akan tetapi apa pun alasannya, terlepas seberapa benar atau nyatanya alasan tersebut, ikrar yang seperti itu bukanlah sebuah komitmen.


Ada perbedaan antara minat dengan komitmen. Bila Anda tertarik atau berminat untuk melakukan sesuatu, maka Anda akan melakukannya hanya jika keadaannya memungkinkan atau situasinya baik-baik saja. Akan tetapi bila Anda berkomitmen atas sesuatu, maka Anda tidak akan pernah mau mentolerir segala alasan, bahkan Anda akan pantang berhenti sebelum tujuan yang Anda inginkan benar-benar tercapai. Inilah arti komitmen yang sebenarnya.

Minat atau hasrat adalah kunci motivasi, tetapi tekad dan komitmenlah yang akan terus mengejar tujuan tanpa henti, yang akan memungkinkan Anda untuk mencapai keberhasilan yang Anda cari. Dan inilah salah satu intisari dari pengalaman saya selama berkiprah sebagai seorang motivator selama hampir 30 tahun terakhir. Kunci atau rahasia di balik keberhasilan setiap orang-orang sukses terletak pada komitmen. Mereka terus menggenggam erat tujuan atau impian mereka, terus berjuang dalam kondisi suka maupun duka, baik yang memungkinkan atau yang terlihat sangat mustahil sekali pun. Sehingga pada tingkat tertentu, mereka  bahkan rela mengorbankan nyawa—bila memang itu diperlukan—demi terwujudnya tujuan yang mereka cita-citakan.

Kualitas komitmen seperti itulah yang dimiliki oleh para Samurai, anggota kasta ksatria Jepang yang mulai berkuasa pada abad ke-12 dan mendominasi pemerintahan sampai tahun 1868. Bagi mereka, komitmen adalah persoalan hidup dan mati. Para ksatria yang sangat ditakuti dan dihormati itu—hidup berdasarkan Bushido, yang mengutamakan keberanian, kehormatan, dan kesetiaan pribadi—mereka menjalani hidup seolah-olah mereka sudah mati. Meski mungkin agak terdengar janggal, tapi sesungguhnya komitmen seperti itu telah membebaskan mereka. Karena pada saat seseorang hidup seolah-olah dia sudah mati, maka dia tidak akan pernah mengalami banyak kehilangan lagi.

Pernahkan Anda melihat seorang petinju, pebulutangkis, atau petenis yang tidak memiliki beban? Orang seperti itu bisa benar-benar agresif dan sangat kuat. Sebaliknya, ketika seseorang berusaha mempertahankan hidupnya, sebenarnya dia malah sedang membatasi kemampuannya. Hanya sayang, pada kenyataannya kebanyakan orang bermain hanya sekadar untuk tidak kalah, padahal para pemenang bermain dengan komitmen total sepenuh hati. Orang atau individu rata-rata, umumnya meletakkan satu kakinya pada gas dan kaki yang lain pada rem—sebagai langkah antisipasi—kalau-kalau keadaan tidak berjalan seperti yang diharapkan. Inilah semangat yang pada umumnya dimiliki orang ketika melangkah ke dalam perkawinan, sebuah bisnis, atau kegiatan apa saja. Mereka bermain sekadar untuk tidak kehilangan apa yang sudah dimilikinya—dan itu pulalah yang membuat mereka menjadi orang rata-rata. Menghasilkan prestasi yang rata-rata, mencapai keberhasilan rata-rata, dan hidup dalam standar ala kadarnya.

Ada sebuah ungkapan yang berbunyi: “Jika seseorang tidak bersedia mati demi sesuatu yang diyakininya, maka dia tidak layak untuk hidup.” Hal itu sejalan dengan kenyataan, bahwa orang-orang yang baik atau orang-orang yang paling mulia tidak selalu menang. Moralitas tidak selalu mengalahkan imoralitas; kebaikan tidak selalu menang terhadap kejahatan. Di dunia ini, mereka yang paling memiliki komitmenlah yang menang.

Dalam bukunya, The Code of the Samurai: A Modern Translation of the Bushido Shoshinshu of Taira Shigesuke, Thomas Cleary menulis: “Seseorang yang dianggap ksatria selalu mengingat kematian dalam pikirannya sebagai perhatiannya yang utama, setiap hari dan setiap malam, sejak pagi hari tahun baru sampai malam tahun baru. Selama Anda mengingat kematian dalam pikiran Anda sepanjang waktu, Anda juga akan memenuhi janji kesetiaan dan tugas keluarga. Anda akan terhindar dari banyak godaan dan malapetaka, Anda akan sehat secara fisik dan panjang umur. Selain itu, karakter Anda akan berkembang dan kebaikan Anda akan semakin tumbuh.” Sebaliknya, ia melanjutkan: “Ketika Anda menganggap bahwa hidup Anda di dunia ini akan abadi, maka bermacam-macam keinginan akan muncul dalam diri Anda, dan Anda akan dipenuhi beragam hasrat. Anda akan menginginkan apa yang dimiliki orang lain, dan nilai diri Anda akan sangat bergantung pada apa yang Anda miliki, dan menumbuhkan mentalitas dagang.”

Singkatnya, apa pun keadaannya, hidup Anda akan bebas dari urusan dunia yang terbukti tidak lain adalah gangguan. Ketika Anda menjalani hidup dengan memikirkan kematian, Anda bukan sedang berusaha melindungi hidup Anda dan mencoba selamat, karena Anda tahu hal itu sia-sia. Sebaliknya, Anda justru akan hidup secara total karena Anda tidak akan kehilangan apa pun.

Jadi, bagaimana pun buruk keadaan Anda saat ini, seberapa rendahnya tingkat pendidikan Anda, tak peduli dari suku atau latar belakang keluarga seperti apa, Anda semua berhak untuk meraih sukses dan hidup bahagia. Success is my right; “Sukses adalah hak saya, hak Anda, dan hak kita semua yang menyadari, menginginkan dan benar-benar memperjuangkannya dengan sepenuh hati. “ Tak ada satu pun rintangan yang benar-benar menghadang, kecuali yang ada di dalam diri Anda sendiri. Tak soal, seberapa buruknya atasan Anda, teman-teman sekantor Anda, keadaan ekonomi negara, atau bahkan kondisi keluarga yang seolah tidak mendukung Anda. Semua itu hanyalah alasan-alasan yang tidak mendukung keberhasilan. Alasan yang sering digunakan oleh mereka yang memilih menyerah kalah.

Jangan pernah mengira bahwa para pemenang tidak pernah menemui rintangan, keterbatasan, halangan, atau bahkan ancaman pada saat mereka mulai berjuang. Mereka pun menghadapi persoalan-persoalan yang persis sama, hanya bedanya, mereka memiliki komitmen. Komitmenlah yang mengarahkan perhatian mereka dari hal yang merintangi, berpindah ke ide atau gagasan-gagasan yang memungkinkan tercapainya tujuan. Ada kalanya, mereka bahkan harus jatuh tersungkur berkali-kali, mengalami luka dan berdarah-darah. Akan tetapi tak lama sesudahnya, mereka akan berusaha mengerahkan segenap tenaga yang masih tersisa untuk bangkit kembali. Sebagaimana pepatah samurai yang berbunyi: “Jatuh tujuh kali. Bangkit delapan kali!”

Sampai di sini, saya berharap Anda sudah menangkap poinnya: segala batasan dan penghalang keberhasilan, hanyalah soal apa yang Anda pikirkan. Karena sukses bukanlah soal apa yang Anda perbuat, dan bukan pula tentang cara Anda melakukannya, tetapi soal SIAPA DIRI ANDA. Sukses sejati yang terlihat dari LUAR, hanyalah cerminan dari SUKSES yang berada di dalam diri kita. Yang artinya, tingkat komitmen kitalah yang akan menjadi pembeda. Apakah kita termasuk mereka yang hanya sekadar berhasrat dan menginginkannya? Atau kita tergolong individu yang memiliki komitmen kuat dengan segenap jiwa dan raga sebagai taruhannya?
sumber andriewongso

No comments:

Post a Comment