Sejauh mana kita biasa memaknai kondisi yang kita alami? Saat
kesulitan misalnya. Apa hal pertama yang segera muncul di pikiran ketika
kondisi tersebut terjadi? Hampir sebagian besar orang menyatakan
kecewa, marah, sedih, atau jengkel. Sebaliknya, saat kejadian
menyenangkan yang datang, hampir semua juga menyebut rasa bahagia,
senang, gembira, dan sukacita.
Tak salah, semua itu memang manusiawi. Tapi, jika kemudian diajukan pertanyaan, mana yang paling sering terjadi, senang atau sedih? Jawabannya sangat relatif. Namun, jika kita coba telusuri lebih jauh, barangkali “jumlah” rasa senang dan sedih itu bisa jadi sangat berimbang. Tak ada senang yang terus-menerus. Tak ada pula yang sedih berkepanjangan. Sebagaimana yang sering saya sampaikan, sukses hari ini, bukan berarti sukses esok hari, gagal hari ini, bukan berarti gagal esok hari.
Tak salah, semua itu memang manusiawi. Tapi, jika kemudian diajukan pertanyaan, mana yang paling sering terjadi, senang atau sedih? Jawabannya sangat relatif. Namun, jika kita coba telusuri lebih jauh, barangkali “jumlah” rasa senang dan sedih itu bisa jadi sangat berimbang. Tak ada senang yang terus-menerus. Tak ada pula yang sedih berkepanjangan. Sebagaimana yang sering saya sampaikan, sukses hari ini, bukan berarti sukses esok hari, gagal hari ini, bukan berarti gagal esok hari.
Karena itu, sejatinya, pola pikir kita sebenarnya yang menentukan, akan memilih menyikapi apa kondisi yang sedang dialami. Apakah akan memilih tenggelam dalam perasaan sedih dan kecewa, atau segera mengubah rasa yang cenderung negatif menjadi hal yang lebih positif. Semua kita yang menentukan sendiri, hendak dibawa ke mana pikiran dan perasaan yang terjadi. Pertanyaannya kemudian adalah, jika kita sudah berhasil menjadi “penguasa” atas apa yang kita pikirkan, rasakan, dan kehendaki, apakah semua akan berjalan pada rel yang benar? Apakah dengan semua pikiran positif tersebut akan segera mengantarkan kita pada kesuksesan yang sejati?
Saya sendiri orang yang sedari kecil mendapat didikan lingkungan dan
keluarga yang keras. Dalam kondisi tersebut, terbentuk mentalitas yang
kaya, sehingga apa pun kondisi yang saya alami, selalu saya pikirkan
kondisi positifnya. Apa pun kejadian yang melingkupi kehidupan, selalu
saya cari celah yang membuat saya terus berpikir optimis dan aktif.
Namun, dengan kondisi tersebut, halangan dan tantangan tak hilang dengan
sendirinya. Sebab memang, sudah menjadi “hukum alam” bahwa sejatinya
ada “keseimbangan” dalam kehidupan yang kita jalani. Tak ada sukses
tanpa kegagalan, tak ada gembira tanpa kesedihan. Karena itulah, meski
di awal perjuangan hidup terasa sangat berat, keyakinan akan
keberhasilan selalu membuat saya berani dan terus mau berjuang demi
mewujudkan hidup yang lebih baik.
Pada titik tersebut, hukum alam juga mengajarkan, bahwa tak ada sukses yang instan. Tak ada sukses yang bisa dipetik dengan perjuangan semalam. Maka, dulu ketika orangtua mengatakan sebuah peribahasa alon-alon waton kelakon, alias pelan-pelan asal sampai tujuan—yang kini juga diterjemahkan biar lambat asal selamat—sebagai anak muda yang dulu menggebu-gebu ingin cepat sukses, saya kurang setuju dengan istilah tersebut. Darah muda yang bergejolak—ditambah semangat yang sangat berapi-api untuk mengubah nasib—membuat saya berpikir dan bertindak ingin serbacepat. Begitu juga kondisi yang saya lihat belakangan ini. Begitu banyak orang yang berpikir untuk cepat sukses, cepat kaya, cepat pensiun di usia muda.
Tak salah memang. Apalagi zaman berkembang sangat luar biasa cepat. Namun, di balik itu semua, jika dasar yang dijalankan belum kokoh, tak ada fondasi kuat yang menopang, banyak orang yang justru terjebak oleh ambisi yang berujung pada kehampaan.
Maka, ketika kembali meresapi nasihat orangtua—alon-alon waton kelakon—sebenarnya nasihat tersebut bukan bermakna untuk berleha dan bersantai-santai. Tapi, di dalam ungkapan tersebut, kita diajarkan untuk mendalami proses, bukan semata hasil. Proses alon-alon yang penuh kehati-hatian—sebagaimana dulu orang Jawa yang terkenal lemah lembut namun sangat cermat dalam berkarya, membatik misalnya—adalah sebuah wejangan yang berisikan kedalaman pesan untuk lebih memaknai kehidupan. Kita “disuruh” untuk menjauhi sikap serba ingin cepat, sehingga malah melupakan esensi dari apa yang ingin dituju dalam kehidupan yang diperjuangkan. Dan lagi, dalam ungkapan alon-alon tersebut, kita juga tetap “diingatkan” untuk meraih pencapaian tertentu, yakni dalam ungkapan kelakon, yang arti harfiahnya tercapai. Artinya, di balik segala proses yang berjalan—seolah-olah—lambat tersebut, kita tetap punya tujuan akhir, yakni agar tercapai apa yang kita cita-citakan.
Kita memang tak pernah bercita-cita jadi orang gagal. Tak ingin pula jadi orang yang hidup dalam kesulitan. Tapi, semua itu pasti akan selalu kita lewati kala ingin mencapai tujuan yang diimpikan. Karena itu, selayaknya kita mau dan mampu belajar, bahwa proses adalah sebuah hal yang justru akan mendewasakan dan mematangkan kita.
Mari kita syukuri, apa pun kondisi yang kita alami, sembari terus belajar dan berjuang, agar apa yang kita inginkan tercapai.
Pada titik tersebut, hukum alam juga mengajarkan, bahwa tak ada sukses yang instan. Tak ada sukses yang bisa dipetik dengan perjuangan semalam. Maka, dulu ketika orangtua mengatakan sebuah peribahasa alon-alon waton kelakon, alias pelan-pelan asal sampai tujuan—yang kini juga diterjemahkan biar lambat asal selamat—sebagai anak muda yang dulu menggebu-gebu ingin cepat sukses, saya kurang setuju dengan istilah tersebut. Darah muda yang bergejolak—ditambah semangat yang sangat berapi-api untuk mengubah nasib—membuat saya berpikir dan bertindak ingin serbacepat. Begitu juga kondisi yang saya lihat belakangan ini. Begitu banyak orang yang berpikir untuk cepat sukses, cepat kaya, cepat pensiun di usia muda.
Tak salah memang. Apalagi zaman berkembang sangat luar biasa cepat. Namun, di balik itu semua, jika dasar yang dijalankan belum kokoh, tak ada fondasi kuat yang menopang, banyak orang yang justru terjebak oleh ambisi yang berujung pada kehampaan.
Maka, ketika kembali meresapi nasihat orangtua—alon-alon waton kelakon—sebenarnya nasihat tersebut bukan bermakna untuk berleha dan bersantai-santai. Tapi, di dalam ungkapan tersebut, kita diajarkan untuk mendalami proses, bukan semata hasil. Proses alon-alon yang penuh kehati-hatian—sebagaimana dulu orang Jawa yang terkenal lemah lembut namun sangat cermat dalam berkarya, membatik misalnya—adalah sebuah wejangan yang berisikan kedalaman pesan untuk lebih memaknai kehidupan. Kita “disuruh” untuk menjauhi sikap serba ingin cepat, sehingga malah melupakan esensi dari apa yang ingin dituju dalam kehidupan yang diperjuangkan. Dan lagi, dalam ungkapan alon-alon tersebut, kita juga tetap “diingatkan” untuk meraih pencapaian tertentu, yakni dalam ungkapan kelakon, yang arti harfiahnya tercapai. Artinya, di balik segala proses yang berjalan—seolah-olah—lambat tersebut, kita tetap punya tujuan akhir, yakni agar tercapai apa yang kita cita-citakan.
Kita memang tak pernah bercita-cita jadi orang gagal. Tak ingin pula jadi orang yang hidup dalam kesulitan. Tapi, semua itu pasti akan selalu kita lewati kala ingin mencapai tujuan yang diimpikan. Karena itu, selayaknya kita mau dan mampu belajar, bahwa proses adalah sebuah hal yang justru akan mendewasakan dan mematangkan kita.
Mari kita syukuri, apa pun kondisi yang kita alami, sembari terus belajar dan berjuang, agar apa yang kita inginkan tercapai.
sumber andriewongso
No comments:
Post a Comment